Merayakan Pelukan


Menulis puisi sama dengan memeluk.

Ada yang lebih luas dari sekadar kata-kata dalam kalimat tersebut. Kalimat yang sering diungkapkan Aan Mansyur dalam berbagai kesempatan tersebut tanpa terduga memantik gagasan lahirnya buku himpunan puisi ini.

Jika menulis puisi sama dengan memeluk dan membacanya sama dengan membalas pelukan, alangkah banyak pelukan yang saling menghangatkan yang tentunya melebihi kemampuan sepasang lengan untuk melakukannya. Namun demikian, buku puisi yang seharusnya menjadi media pertemuan yang menyenangkan dianggap sulit lahir.

Begitulah penggalan pengantar yang saya sampaikan di acara perayaan terbitnya buku antologi puisi Merentang Pelukan, Kamis (13/12), di Coffee Toffee Hang Lekir. Saya lebih suka menyuka menyebutnya perayaan ketimbang peluncuran. Sesuatu yang meluncur akan berhenti pada akhirnya, sementara puisi, menurut saya, akan selalu ada sampai semesta padam. 

Para Agen Peluk

Para Agen Peluk

Banyak kejutan malam itu. Kejutan-kejutan yang menyenangkan. Saya tidak menduga kegiatan berpuisi akan seramai ini, apalagi di Jakarta. Saya tidak menghitung, tapi sepertinya lebih dari 100 orang datang. Meski saya yakin tak semuanya datang untuk mengapresiasi puisi, namun saya bahagia.

Saya bahagia karena beberapa mau bertahan berdiri karena tak dapat kursi, padahal sudah disediakan beberapa kursi tambahan. Saya bahagia karena semua berjalan cukup tepat waktu. Saya senang karena dengan tidak sengaja telah mengenalkan puisi kepada beberapa orang yang asing dengan puisi. Saya bahagia melihat orang-orang menikmati puisi sebagai sesuatu yang tidak membosankan.

Deklamasi puisi memang cenderung membosankan, terlebih bagi mereka yang jarang memeluk puisi, tapi tidak malam itu. Setelah saya mengantar pelukan, acara dimulai dengan syahdu oleh Disa Tannos yang menembangkan salah satu puisi saya dalam buku Merentang Pelukan, “Perjamuan Akhir Pekan”. Dua tembang setelahnya adalah puisinya sendiri, “Layang-layang” dan “Setengah Tujuh Pagi”, yang terdengar manis diiringi petikan gitar Radiya Nugie. Disa adalah penyair sekaligus penyanyi yang baik tanpa perlu mendadani kata-kata dan suaranya. Sebab terlalu cantik, kadang, adalah, petaka.

Disa Tannos dan Raditya Nugie

Disa Tannos dan Raditya Nugie

Selanjutnya adalah deklamasi puisi berturut oleh Rangga Rivelino, Kartika Jahja, dan Zarry Hendrik. Rangga, salah satu penulis yang karyanya terhimpun dalam buku Merentang Pelukan, membacakan “Hidup dan Mati” dan “Classic Bus of 52nd” dengan suara pelan yang sebetulnya menghanyutkan kalau saja beberapa penonton tak gaduh. Kemudian adalah perempuan luar biasa yang saya kagumi aksi panggungnya. Kartika Jahja, yang selalu membius saya ketika bernyanyi, mendeklamasikan puisi saya “Timbul Tenggelam” dan “Cara Terbaik Menyiapkan Makan Malam” karya Pringadi Abdi Surya dengan emosi yang cukup meletup. Ia mengingatkan kepada ibu saya yang bersuara lantang namun baik hati. Lalu, Zarry Hendrik membawakan “Perihal Perempuan-perempuan Penyeduh Kopi” karya Faisal Oddang dengan sendu dan menawan banyak perempuan di ruangan.

Rangga Rivelino

Rangga Rivelino

Kartika Jahja

Kartika Jahja

Zarry Hendrik

Zarry Hendrik

Tak ada yang lebih baik daripada menekuni hal menyenangkan bersama saudara sendiri. Itulah yang dilakukan The Vuje. Tiga bersaudara, Erika, Nanda, Abay, bersama Danu menampilkan sesuatu yang magis malam itu. Lagu-lagu mereka yang berlirik puitik selalu apik terdengar dari vokal Erika. Saya paling suka lagu Mendung, kelamnya syahdu dan menghentak dada.

The Vuje

The Vuje

Momo melanjutkan acara dengan deklamasi karya Toffan Ariefiadi yang berjudul “Dipukau Pulau di Landai Pantai”. Selanjutnya adalah bincang puisi bersama Diki Umbara yang mewakili Penerbit KataBergerak, dan Rangga Rivelino, satu dari dua orang pelajar yang terpilih dalam proyek Merentang Pelukan ini. Meski hanya melahirnya dua penanya, bincang-bincang cukup menggambarkan bagaimana kondisi puisi dalam dunia penulisan dan penerbitan hari ini.

Saya dan "Ode buat Pak Guru"

Saya dan “Ode buat Pak Guru”

Setelah bincang puisi, giliran saya berdeklamasi. Saya memilih membacakan Ode buat Pak Guru yang sungguh sangat personal disusul penampilan Ria Irawan. Aktor yang satu ini sangat menghibur dengan celotehnya sebelum dan sesudah membacakan “Pengakuan” karya Fitrawan Umar. Ia juga sempat membacakan puisi pendek pendek saya di awal, “Sebuah Keyakinan”, yang menurutnya sangat sejalan dengan prinsip feminisme.

Ria Irawan

Ria Irawan

Beberapa orang sudah melipir entah ke mana saat Sasina menginjak panggung. Grup vokal dari Ikatan Keluarga Sastra Indonesia ini membius penonton yang masih bertahan dengan beberapa komposisi. Beberapa orang tampak kagum menyaksikan cara lain menikmati puisi. Komposisi gubahan mereka yang jadi favorit saya adalah “Batu di Dasar Kali” karya Kriapur hasil aransemen Istiqamah dari Payung Teduh. Yang isimewa malam itu ialah salah seorang penyair yang puisinya dilagukan Sasina hadir, Khrisna Pabichara, guru saya.

SASINA!

SASINA!

Aku ingin menjadi batu di dasar kali… 
Bebas dari pukulan angin dan keruntuhan…

Berpuisi tanpa Khrisna Pabichara adalah ganjil. Sebab itu, saya menodongnya dengan sebuah pelantang yang disambut baik dan menghasilkan pembacaan dua puisi. Gaya bacanya yang teatrikal melahirkan kekagukan tersendiri. Setidaknya itulah yang saya rasakan setelah menyaksikannya.

Khrisna Pabichara

Khrisna Pabichara

Puisi dan komedi berkawan baik. Keduanya lahir dari kejujuran. Karena itulah, saya mengundang Krisna Harefa dan Muhadkly Acho menutup acara malam itu. Tawa-tawa pecah, pecahannya cukup tajam. Semoga bukan tajam yang melukai. Akhirnya, jika ada yang lebih baik dari ucapan terima kasih, pasti sudah saya sampaikan malam itu. Terima kasih kepada siapa saja yang sudah merelakan diri ikut merentang pelukan. Semoga bukan pelukan yang pura-pura, sebab bahagia saya tidak pura-pura. Sungguh.

*Dokumentasi: Suryo Brahmantyo
  1. Launching yang indah, terharu melihat pelukan-pelukan yang datang merentang.. 🙂 Saya datang loh mas(atau mba?) andi..! Sayangnya segan tuk memeluk. Aku peluk kamu lewat doa-doa sejahtera nan bahagia senantiasa ya.. Boleh kan! 🙂

    • Hai, terima kasih sudah datang. Sepertinya saya melihat kamu malam itu. Terima kasih untuk doanya ya. Semoga kebaikan memelukmu, erat.

  2. Aku ingin sekali datang, bila ada sayap.

  3. *peluk*

  4. Reblogged this on salmanrafan.

  5. Selamat dan terima kasih masih terus mengembangkan khazanah sastra Indonesia.

    SABUDI (sastra budaya indonesia)
    mari kita jaga bersama!

    • erdidik
    • June 29th, 2013

    Pelukan yang bagaimana yang harus dirayakan Bang? 😀

  1. No trackbacks yet.

Leave a reply to musayka Cancel reply