Archive for the ‘ Kata Mereka ’ Category

M. Aan Mansyur: Andi Gunawan dan Sajak-sajaknya

PlotPoint menyodorkan setumpuk sajak Andi Gunawan ketika saya sedang sering memikirkan perkembangan dunia puisi di Indonesia—utamanya karya-karya penyair seusia atau lebih muda daripada saya. Ada dua pertanyaan yang acap muncul di benak saya beberapa tahun terakhir ini. Pertama, kenapa semakin banyak anak muda yang gemar menulis sajak, ingin jadi penyair, padahal dunia puisi adalah dunia yang begitu sunyi? Dan, kedua, apa yang membuat anak-anak muda—utamanya di Internet—tampak begitu senang membaca sajak? Saya belum punya jawaban memadai untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, kedua pertanyaan itulah yang akhirnya membuat saya berani menerima tawaran PlotPoint untuk membaca dan memilah-memilih sajak-sajak Andi Gunawan untuk dibukukan.

Andi Gunawan, meskipun lebih dikenal luas di dunia stand-up comedy, mengisi hari-harinya dengan menulis beragam jenis tulisan. Saya kerap mengunjungi blognya. Tidak jarang saya penasaran dengan isi kepala dan kehidupannya. Beberapa tahun lalu, sebelum bertemu dengannya, saya menulis pengantar untuk buku kumpulan prosa yang dia tulis. Dari sana saya tahu bahwa dalam diri Andi Gunawan ada begitu banyak keresahan yang ingin dia tumpahkan. Kadang dia mampu menuliskannya dengan tenang, namun lebih sering tidak terkendali.

Ketika saya berhadapan dengan sajak-sajaknya, saya melihat keresahan-keresahan Andi Gunawan lebih tenang dan penuh perhitungan dijabarkan. Anda akan melihat Andi Gunawan senang membunyi-sembunyi-kan perasaan dan pikirannya di buku ini melalui sajak-sajak pendek. Dia tidak senang menceritakan perasaan dan pikirannya melalui sajak-sajak panjang. Saya tahu, keseharian Andi Gunawan dipenuhi dengan kata-kata. Di dunia nyata, dia salah seorang paling cerewet di negeri ini yang saya kenal. Tetapi, di dunia puisi, dia menjadi begitu pendiam. Dia kadang tampak gugup dan gagap bicara melalui puisi. Dalam puisi, dia terlihat selalu berperang dengan keraguan dan keyakinannya sendiri.

Saya pikir, perang tidak berkesudahan dalam diri Andi Gunawan itulah yang menarik untuk kita baca dalam sajak-sajaknya di buku ini. Dia tampak ragu sekaligus yakin bahwa puisi adalah jalan yang baik untuk berperang dengan diri sendiri. Ruang lengang yang lapang dalam puisi, termasuk dalam sajak-sajak pendek, adalah tempat yang baik bagi Andi Gunawan untuk berhenti sejenak memikirkan dunia—baik yang ada di dalam dan di luar dirinya.

Saya tidak hendak mengacaukan pembacaan Anda atas sajak-sajak di buku ini dengan terus mengoceh. Saya tidak ingin menceritakan lebih jauh perasaan dan pengalaman saya bersentuhan dengan sajak-sajak Andi Gunawan ketika menyunting buku ini. Di ujung catatan kecil ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa sajak-sajak dalam buku ini bukanlah dunia yang rumit untuk dijelajahi—sebagaimana Jakarta, kota tempat penulisnya menjalani kehidupannya selama ini. Dalam buku ini, Anda akan bertemu dengan sajak-sajak sederhana yang separuh terkuak dan separuh terkatup, sarat ironi dan kemarahan yang malu-malu, juga humor yang memadai.

Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa saya bahagia bisa terlibat dalam penerbitan buku ini—dan selamat membaca.

Makassar, Mei 2014

M Aan Mansyur

Kwatrin Buku yang Terbuka


                        :Andi Gunawan

Sejak pembuka ia tahu
Bukan dongeng putri raja
Tapi kisah jalan berbatu
Dan sepasang kaki di atasnya.

Tiap lembar ia belajar
Jadi barisan kata yang paham
Mengapa berbeda dan lebih sukar
Dari komedi selasa malam.

Kutemukan buku terbuka
Dengan huruf tegak menantang
Di dalamnya sebuah drama
Membacakan diri semakin lantang.
 

Disa Tannos, 27 Maret 2012

Khrisna Pabichara Menelisik Buku “Kejutan!”

Tak ada yang lebih menggembirakan saat sebuah karya diapresiasi seorang kawan. Khrisna Pabichara, seorang penulis dan pejuang bahasa Indonesia, menelisik buku “Kejutan!” saya melalui akun Twitter-nya, @1bichara. Saya menyebutnya twitview–sebuah ulasan yang disampaikan melalui Twitter. Saya pernah melakukannya sekali atas buku Politweet karya Salman Aristo. Biar tak tercecer, saya susun-simpan telisik Khrisna Pabichara di sini.

  1. Tiap membaca buku, saya menghindari lebih dahulu membaca kata pengantar, prolog, atau kerabatnya, karena takut terpengaruh. #Kejutan!
  2. 2. Saya pun jarang membuka halaman terakhir demi mencari tahu riwayat pengarang. Biasanya, saya langsung baca daftar isi. #Kejutan!
  3. Kali ini, tidak. #Kejutan! menyuguhkan buah pikir @aanmansyur sebagai pengantar, dan nama pengarangnya, @ndigun, terasa amat intim.
  4. Alhasil, @aanmansyur sukses menodongkan “sejumlah hal yang membuat buku ini #Kejutan! bagiku”. Begitulah MAM mengenalkan @ndigun kepadaku.
  5. Tibalah saya pada “Seratus Buat Presiden”. Ternyata, bukan pujian, melainkan “surat kritis” seorang @ndigun kepada presidennya. #Kejutan!
  6. Ironi keluarga dengan “dongeng pengantar tidur” sebagai penakluk lapar, memampang potret buram negeri ini. #Kejutan! pertama, sungguh.
  7. Lalu, “Buat Ani”, semacam surat cinta yang menganjurkan kesederhanaan dan kesabaran kepada “yang dicinta”–juga menahan hasrat. #Kejutan! Continue reading

Hindraswari Enggar Mengulas “Kejutan!”

Judul: Kejutan! (Antologi Prosa)

Penulis: Andi Gunawan

Penerbit: LiniKala Publishing

Membaca buku ini mengingatkan saya pada Kate Dicamillo. Karya mereka berdua menggambarkan kemuraman dan kegelapan sekaligus harapan. Bahasa yang puitis juga menjadi unsur kekuatan dari karya mereka.

Tidak berbohong bahwa saya menyukai semua tulisan di buku ini. Tulisan-tulisannya menceritakan realitas hidup, yang walaupun terkadang pekat tapi juga menyimpan keindahan-keindahan kecil yang tersembunyi di dalamnya. Dan Andi, mengajak kita untuk melihat keindahan sejati itu tanpa menggurui melalui prosa-prosanya yang lirih.

Seperti di Buat Ani, tampaknya ini surat yang ditujukan Andi untuk adik tersayangnya. Saya merasakan luapan cinta dan sayang dari yang dinamakan keluarga. Dari kakak terhadap adik, dan anak terhadap orang tua.

Ada sesuatu yang mistis pada tulisan di Lelaki Tua yang Kehujanan. Saya suka kisah ini. Dan juga Kejutan. Ada sesuatu yang menyentak. Hidup, seperti roda yang kadang berjalan lambat tapi sewaktu-waktu bergulir ke atas atau ke bawah dengan cepat.

Salah dan Meminang Malam juga memesona. Salah menggambarkan kita, manusia dengan segala kompleksitas-nya. Meminang malam adalah kerinduan pada malam yang dalam keheningannya selalu mendekatkan kita pada Sang Pencipta.

Dan inilah yang membuat saya tersadar, mengapa saya begitu terpaku membaca tulisan-tulisan dalam prosa ini. Saya adalah penggemar berat karya-karya Kate Dicamillo. Dan, saya juga akan menggemari karya-karyamu, ‘Ndi . Sukses untukmu ya.

Terima kasih, Mba Enggar 🙂

Kejutan!

Oleh: Astri Kusuma

Kejutan yang paling saya suka dalam buku karya Andi Gunawan ini adalah tulisan yang berjudul “Ketuhanan yang Maha Esa”. Enak dibaca dan terasa menghentak. Mengejutkan. Urusan membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) jadi terasa panjang dan menggemaskan karena dialog cerdas antara petugas (kelurahan?) dengan orang yang ingin membuat KTP.

Andi Gunawan menyebut buku pertamanya ini sebagai antologi prosa. Saya sendiri tak bisa membedakan mana puisi dan prosa, yang penting saya bisa menikmatinya. Beberapa tulisan yang saya suka  adalah Kodrat, Seratus Buat Presiden, Buat Ani, dan Kejutan !

Khusus untuk Kejutan!, daya kejutnya mungkin akan terasa lebih maksimal jika ia berhenti pada kalimat “Mas, Ibu sakit. Cepat pulang.” Ini menurutku, Ndi

Tak lupa kuucapkan selamat untukmu yang telah berhasil menulis sebuah buku. Jangan berhenti di sini ya, aku menunggu buku yang kedua.

Si Anak dari Perempuan Hebat: Sum

Dua orang sahabat mencatatku

———————————–

Dia bicara tentang kodrat saat pertama kali bertemu. Dia tidak memilih menjadi laki-laki, walaupun ada batang penis di selangkangannya. Dia adalah digraf ‘kh’ dalam kata ‘makhluk’. Sekalipun samar, aku melihat jarinya berbentuk pena dan di dadanya ada sinar bertuliskan ‘IBU’.

Di balik virtual, dia bercerita tentang keluarga. Tentang mimpi seorang perempuan tua yang terhambat dia wujudkan, tentang mimpinya sendiri yang dia kesampingkan. Seolah sangat meyakini, bahwa pintu masuk surga benar-benar tersembunyi di bawah telapak kaki perempuan tua itu, yang dia panggil Ibu.

Seperti aku, dia juga suka menyapa Tuhan. Tetapi, ada malaikat bilang padaku bahwa Tuhan agaknya lebih suka berbincang dengannya. “Cerita kalian pada Tuhan serupa tak sama. Kau terlalu muluk tentang jodohmu, sedang dia justru ingin menjodohkan Tuhan dengan ibunya.”

Malam kali pertama aku membuka isi kepalanya. Indah. Dia mahir bermain kata-kata. Masih, dia menyanjung puji keanomalian otakku. Sedang dia bercerita tentang realita, menyajikannya dengan semburat warna. Entah bagaimana, abu-abu pun tak terasa sendu di tangannya. Aku mengagumi itu, berhenti mengeluh dan menerima. Seharusnya dia tidak menundukkan kepala. Angkat topi dan hormat tertinggi untuk keberaniannya melirik ke belakang, tanpa tertatih berjalan ke depan.

Lama setelah itu, dia menceritakan umurnya. Menurutnya, sejak dulu dia sudah dikarbit tak sengaja oleh keluarganya. Astaga! Menurutku, dia neokarpi! Dan bunganya harum dan buahnya ranum. Tiba-tiba saja aku ingin mengganti anggurku dengan kreolin. Aku malu. Kuputuskan untuk tidak bertemu lagi dengannya.

Aku bukan biarawan, katanya. Dosa aku masih punya. Nafsu pun sesekali singgah. Apapun itu, dia laki-laki, istimewa. Rasa lapar dia tangkis dengan jejak-jejak tulisan. Masih sempat dia mendengar beberapa cerita dari kawan, padahal dialah yang paling membutuhkan sandaran.

Aku benar-benar mengganti anggurku dengan kreolin sesampaiku di rumah. Tapi, aku memang pengecut! Aku tidak jadi meminumnya, cuma berani mencium aromanya. Aku mabuk, kemudian menangis. Dia meneleponku, tidak kujawab. Dia mengirimkan surat elektronik, tidak kubalas. Lalu akhirnya aku menyerah ketika dia mengirimkan aku sebuah lukisan kota. Aku memang kagum setengah hidup setengah mati padanya. Kubalas suratnya dan segera meneleponnya. Dia bilang: rindu. Aku bilang: hai, sinar kosmik!

Berjanjilah padaku, mainkan sebuah lagu saat nanti kita bertemu. Begitu pintanya, aku mengiyakan. Lagu pertama yang kubawakan di depan orang ramai, pertama kuhafal di luar kepala. Setinggi itu aku menghargaimu, anak Sum. Bahkan untuk merasa sedih di depanmu pun aku rasa aku tak akan mampu. Bagaimana aku mengeluh tentang luka yang digoreskan hidup di pesisir dahiku, sementara badanmu penuh luka, tapi bukan darah, kulitmu mengeluarkan cahaya.

Aku lega sekali bisa berjalan berduaan lagi dengannya. Aku berharap ada bahagia yang kutinggalkan di sekujur hatinya setiap bertemu denganku. Aku ingin sekali menciumnya, tetapi dia lebih pantas diberi decak kagum. Maka, aku melakukannya kapanpun aku bisa, kadang sembari membayangkan senja di Sadranan yang pernah ia ceritakan.

Dan sore tadi aku terima sebuah undangan. Untuk bertemu seorang perempuan hebat yang telah melahirkannya. Hampir berteriak aku senang, girang bukan kepalang. Rasanya ingin ikut mengecup tangan si perempuan tua jika diperbolehkan. Jika Ibuku begitu menakjubkan, maka kupastikan dia iri kepada Sum, yang memiliki anak lelaki dengan hati selembut sulaman sutra karya tangan.

Suatu malam, kami berbincang lewat pesan instan persegi empat. Mungkin kami berjodoh, karena kami sama-sama kelaparan malam itu. Ada air menggenang tiba-tiba di mataku dan segera saja mengalir senyap ke pipiku, setelah dia katakan kepadaku bahwa hanya ada nasi di rumahnya untuk dimakan. Tidak ada mi instan dan telur seperti yang selalu tersedia di rumahku, tidak ada cemilan anu ini itu seperti yang selalu ada di kamarku, tidak ada? Aku ketik: “andai bisa mengirimkan makanan lewat messenger kita ini ya?” Ah! Dia tak perlu negeri dongeng! Kelak aku datang kesana, ke rumahnya, membawa hasil resepku. Dia ketik: ‘aikon senyum’, yang indah sekali.

Tapi dia tidak perlu dikasihani. Tidak, tidak. Terkasihani hanya bagi mereka yang lemah. Dia kuat, sekali! Dan aku mengasihinya, itu berbeda. Masih pagi lagi ketika kami bertukar salam menyambut hari melalui pesan singkat seratus empat puluh huruf. Dia katakan tak sabar menunggu siang, telah disiapkan sang Ibu, sekotak bekal. Aku tak tahu isinya apa, rasanya bagaimana, itu tidak penting. Yang aku tahu, dia akan makan lahap sekali. Lalu mengetik kabar gembira berbagi padaku dan semua, bahwa masakan itu adalah terlezat di dunia.

Andi adalah peri yang selalu berucap atas nama ketidaksempurnaan, yang tak pernah alpa mengingatkanku untuk melafalkan doa-doa di atas bantal. Mari kutebak: Ibu peri pasti cantik sekali.

Jakarta-Medan, 25 Juli 2010.

Alinea ganjil Sabrina : Fiksi yang kisah nyata; cetak-tebal-miring adalah karya-karya anak Ibu Sum.

Alinea Genap Dee Dee : Penggalan pembicaraan yang tersangkut di kepala.

*Rekam kata aslinya terdapat di sini.