Posts Tagged ‘ Buku ’

Beberapa Catatan tentang Buku Puisi Pertama Saya

Saya tidak menulis puisi-puisi terbaik, namun mereka terlanjur lahir dan perlu asuhan. Berikut adalah beberapa tanggapan dari para pengasuh buku puisi pertama saya, Hap!

SAJAK pendek Andi, yang dikurasi M. Aan Mansyur dan diterbitkan Plot Point, adalah sajak orang yang sembunyi. Kita seperti diajaknya menjadi pemuja rahasia, yang hanya berani “mengembangkan sesimpul lengkung” di bibir di balik punggung sang pujaan, yang “berbinar sempurna dalam tunduk sipu” tiap disebut namanya, yang “memilih terduduk saat jarakmu berdiri dengannya hanya beberapa kepal”, sambil melirik waswas, dengan berpegang pada keyakinan dalam Sehimpun Sajak Pendek yang Ganjil tentang Kau:

Jika ternyata cinta adalah kepasrahan,
aku akan mengabdi kepada diam.

Baca selengkapnya dalam Mata Esais, oleh Arief Bakhtiar

/2/

Pernahkah Anda merenungi sejenak mengenai penerimaan dan penolakan yang datang dari dalam dan dari luar diri Anda?

Itulah yang coba Andi lakukan. Sosok ‘Aku’ dalam sajaknya adalah aku yang mencari, pergi dan berlari. Mungkin, meskipun dalam sebuah perhentian, ‘Aku’ dalam sajaknya akan terus berlari, tampak dalam satu kalimat dari puisi “Murtad”: aku memutuskan mengimani waktu. Juga di puisi “Timbul Tenggelam” (hal.85) :

Tempo hari aku bangun
dengan pikiran seronok tentang bunuh diri
sepertinya aku mesti belajar berjalan
lagi

Pencarian terjadi ketika diri merasa krisis. Bicara soal identitas, pada dasarnya tidak ada identitas yang tunggal, seperti yang dikatakan Amartya Sen, penulis buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny (2007). Ada identitas yang terberi sejak lahir, ada identitas yang dicari sendiri. Dalam tumbuh menjadi dewasa, melebur antara keduanya seringkali mencipta ruang-ruang kosong yang memberi celah untuk terisi, melalui mimpi dan harapan, juga kekecewaan dan luka. Di celah itulah keganjilan akan sungguh nyata terasa. Identitas yang cair itu lumrah adanya, tidak lantas menjadi kesalahan, atau ketidaknormalan. Ditekannya kemungkinan-kemungkinan yang muncul berarti menyalahi kodrat otak manusia dan kemampuan berpikirnya. Continue reading

M. Aan Mansyur: Andi Gunawan dan Sajak-sajaknya

PlotPoint menyodorkan setumpuk sajak Andi Gunawan ketika saya sedang sering memikirkan perkembangan dunia puisi di Indonesia—utamanya karya-karya penyair seusia atau lebih muda daripada saya. Ada dua pertanyaan yang acap muncul di benak saya beberapa tahun terakhir ini. Pertama, kenapa semakin banyak anak muda yang gemar menulis sajak, ingin jadi penyair, padahal dunia puisi adalah dunia yang begitu sunyi? Dan, kedua, apa yang membuat anak-anak muda—utamanya di Internet—tampak begitu senang membaca sajak? Saya belum punya jawaban memadai untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, kedua pertanyaan itulah yang akhirnya membuat saya berani menerima tawaran PlotPoint untuk membaca dan memilah-memilih sajak-sajak Andi Gunawan untuk dibukukan.

Andi Gunawan, meskipun lebih dikenal luas di dunia stand-up comedy, mengisi hari-harinya dengan menulis beragam jenis tulisan. Saya kerap mengunjungi blognya. Tidak jarang saya penasaran dengan isi kepala dan kehidupannya. Beberapa tahun lalu, sebelum bertemu dengannya, saya menulis pengantar untuk buku kumpulan prosa yang dia tulis. Dari sana saya tahu bahwa dalam diri Andi Gunawan ada begitu banyak keresahan yang ingin dia tumpahkan. Kadang dia mampu menuliskannya dengan tenang, namun lebih sering tidak terkendali.

Ketika saya berhadapan dengan sajak-sajaknya, saya melihat keresahan-keresahan Andi Gunawan lebih tenang dan penuh perhitungan dijabarkan. Anda akan melihat Andi Gunawan senang membunyi-sembunyi-kan perasaan dan pikirannya di buku ini melalui sajak-sajak pendek. Dia tidak senang menceritakan perasaan dan pikirannya melalui sajak-sajak panjang. Saya tahu, keseharian Andi Gunawan dipenuhi dengan kata-kata. Di dunia nyata, dia salah seorang paling cerewet di negeri ini yang saya kenal. Tetapi, di dunia puisi, dia menjadi begitu pendiam. Dia kadang tampak gugup dan gagap bicara melalui puisi. Dalam puisi, dia terlihat selalu berperang dengan keraguan dan keyakinannya sendiri.

Saya pikir, perang tidak berkesudahan dalam diri Andi Gunawan itulah yang menarik untuk kita baca dalam sajak-sajaknya di buku ini. Dia tampak ragu sekaligus yakin bahwa puisi adalah jalan yang baik untuk berperang dengan diri sendiri. Ruang lengang yang lapang dalam puisi, termasuk dalam sajak-sajak pendek, adalah tempat yang baik bagi Andi Gunawan untuk berhenti sejenak memikirkan dunia—baik yang ada di dalam dan di luar dirinya.

Saya tidak hendak mengacaukan pembacaan Anda atas sajak-sajak di buku ini dengan terus mengoceh. Saya tidak ingin menceritakan lebih jauh perasaan dan pengalaman saya bersentuhan dengan sajak-sajak Andi Gunawan ketika menyunting buku ini. Di ujung catatan kecil ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa sajak-sajak dalam buku ini bukanlah dunia yang rumit untuk dijelajahi—sebagaimana Jakarta, kota tempat penulisnya menjalani kehidupannya selama ini. Dalam buku ini, Anda akan bertemu dengan sajak-sajak sederhana yang separuh terkuak dan separuh terkatup, sarat ironi dan kemarahan yang malu-malu, juga humor yang memadai.

Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa saya bahagia bisa terlibat dalam penerbitan buku ini—dan selamat membaca.

Makassar, Mei 2014

M Aan Mansyur

Ada Indah di Setiap Pindah

Waktu adalah hal yang bisa menyapu dan mengantar segalanya. Baik kenangan, maupun perasaan. Baik hal-hal buruk, maupun hal-hal baik. Baik awal maupun kesudahan. Hanya saja, tak banyak manusia yang mau merelakan sedikit detik lebih lama untuk berproses, untuk berani melangkahi sesuatu yang teramat dicintai. Untuk berpindah dari satu pijakan ke pijakan lain yang terasa begitu asing—tapi sesungguhnya adalah rumah yang seharusnya. Karena dalam hidup ini, manusia selalu butuh berpindah. Pindah dari hal-hal yang salah, pindah dari perasaan-perasaan yang keliru. Namun, untuk melakukannya diperlukan keteguhan, dan manusia terlalu tidak sabar menjalaninya; terlalu tidak berani memilihnya.

cover-dpn

Penulis:
Andi Gunawan – Disa Tannos – Falafu – Iyut SF – Lariza Oky Adisty – Lika Wangke – Raditya Nugie – Sammy Sumiarno

ISBN:
979-794-437-9 (10) / 978-979-794-437-7 (13)

Penerbit:
mediakita

Jumlah Halaman:
202 halaman

Sebuah buku kumpulan cerita tentang perpindahan-perpindahan yang tak dapat ditolak. Senang sekali saya bisa menerbitkan buku bersama tujuh penulis muda berbakat ini. Semoga apa yang kami lahirkan bukanlah sebentuk kesia-siaan. Buku ini akan segera hadir di toko buku, namun jika kamu tak sabar memilikinya, silakan melakukan pre-order (tentu dengan harga lebih murah dari harga jual normal) di Buku Plus

Terima kasih.

Tentang Dunia di Dalam Mata

 
Ada dua? Tuhan berdoa. ~ @sisogi
 
Walaupun hanya empat kata, namun sungguh memantik imajinasi dan kaya penafsiran. Ini adalah fiksimini. Karya fiksi kurang dari 140 karakter yang dimuat di akun twitter @fiksimini. Tidak ada rumusan khusus, karya seperti apa yang layak di-retweet akun @fiksimini. Namun Agus Noor merumuskan dalam bentuk diktum fiksimini:
  •  Cerita yang menohok, seperti satu pukulan tinju yang telak.
  • Cerita yang berkelebat seperti bayangan, yang terus menempel di benak pembaca.
  • Cerita yang dengan seminim mungkin kata, namun menggambarkan dunia seluas-luasnya.
Agus Noor adalah penggagas Fiksimini, bersama Clara Ng dan Eka Kurniawan mengaktifkan akun @fiksimini sejak 18 April 2010. Sebelum akun @fiksimini dibuat, twitter diramaikan hastag #fiksimini, celotehan cerita fiksi. Seperti virus menyebar dan menular, membuat banyak orang ikut bermain-main kata dan imajinasi. Fiksimini menjadi buah bibir setelah diberitakan lewat kolom sastra dan budaya Harian Kompas edisi 11 April 2010. Dalam perkembangannya, Fiksimini tidak hanya ruang kecil di dunia maya, namun menjadi komunitas yang menghasilkan karya. Tidak hanya dalam bentuk tulisan, beberapa karya Fiksimini telah dikembangkan menjadi gubahan lagu dan film pendek.

Merayakan Pelukan

Menulis puisi sama dengan memeluk.

Ada yang lebih luas dari sekadar kata-kata dalam kalimat tersebut. Kalimat yang sering diungkapkan Aan Mansyur dalam berbagai kesempatan tersebut tanpa terduga memantik gagasan lahirnya buku himpunan puisi ini.

Jika menulis puisi sama dengan memeluk dan membacanya sama dengan membalas pelukan, alangkah banyak pelukan yang saling menghangatkan yang tentunya melebihi kemampuan sepasang lengan untuk melakukannya. Namun demikian, buku puisi yang seharusnya menjadi media pertemuan yang menyenangkan dianggap sulit lahir.

Begitulah penggalan pengantar yang saya sampaikan di acara perayaan terbitnya buku antologi puisi Merentang Pelukan, Kamis (13/12), di Coffee Toffee Hang Lekir. Saya lebih suka menyuka menyebutnya perayaan ketimbang peluncuran. Sesuatu yang meluncur akan berhenti pada akhirnya, sementara puisi, menurut saya, akan selalu ada sampai semesta padam. 

Para Agen Peluk

Para Agen Peluk

Banyak kejutan malam itu. Kejutan-kejutan yang menyenangkan. Saya tidak menduga kegiatan berpuisi akan seramai ini, apalagi di Jakarta. Saya tidak menghitung, tapi sepertinya lebih dari 100 orang datang. Meski saya yakin tak semuanya datang untuk mengapresiasi puisi, namun saya bahagia.

Saya bahagia karena beberapa mau bertahan berdiri karena tak dapat kursi, padahal sudah disediakan beberapa kursi tambahan. Saya bahagia karena semua berjalan cukup tepat waktu. Saya senang karena dengan tidak sengaja telah mengenalkan puisi kepada beberapa orang yang asing dengan puisi. Saya bahagia melihat orang-orang menikmati puisi sebagai sesuatu yang tidak membosankan. Continue reading

Saya Cinta Indonesia, Kamu?

Barangkali, Anda bertanya-tanya: siapa sih Andi Gunawan? Apa pentingnya dia menulis soal Indonesia? Ya, saya bukan tokoh yang paling mengerti negara ini. Saya hanya seorang bocah yang ditakdirkan bertemu dengan Agus Wahadyo, laki-laki-unyu-sok-akrab-yang-ternyata-editor. Kalau saja dia tak berusaha sok akrab hari itu, mungkin tidak akan pernah ada buku ini. Ha-ha-ha.

Saya yakin kamu termasuk orang yang seringkali mengeluhkan berbagai ihwal yang terjadi di tanah yang kita jejaki bersama ini. Pun saya. Saya mengeluh karena saya memerhatikan. Saya memerhatikan karena saya peduli. Itu satu-satunya alasan mengapa saya bergabung dalam proyek penulisan buku ini.

Apa yang saya tulis bukan sesuatu yang paling benar. Bukan pemikiran yang paling baik. Namun inilah cara saya berkontribusi memikirkan ulang apa-apa yang (mungkin) diabaikan banyak orang, dan menuliskannya sebagai sesuatu yang patut diingat. Kenapa kita mesti mengingat? Biar tetap merasa waras. Biar tidak merasa sendirian karena ternyata ada orang lain yang juga memikirkan hal yang sama. You never walk alone, istilah kerennya.

Berikut ringkasan tentang buku baru yang saya tulis bersama tiga rekan comic lainnya: Continue reading

Hindraswari Enggar Mengulas “Kejutan!”

Judul: Kejutan! (Antologi Prosa)

Penulis: Andi Gunawan

Penerbit: LiniKala Publishing

Membaca buku ini mengingatkan saya pada Kate Dicamillo. Karya mereka berdua menggambarkan kemuraman dan kegelapan sekaligus harapan. Bahasa yang puitis juga menjadi unsur kekuatan dari karya mereka.

Tidak berbohong bahwa saya menyukai semua tulisan di buku ini. Tulisan-tulisannya menceritakan realitas hidup, yang walaupun terkadang pekat tapi juga menyimpan keindahan-keindahan kecil yang tersembunyi di dalamnya. Dan Andi, mengajak kita untuk melihat keindahan sejati itu tanpa menggurui melalui prosa-prosanya yang lirih.

Seperti di Buat Ani, tampaknya ini surat yang ditujukan Andi untuk adik tersayangnya. Saya merasakan luapan cinta dan sayang dari yang dinamakan keluarga. Dari kakak terhadap adik, dan anak terhadap orang tua.

Ada sesuatu yang mistis pada tulisan di Lelaki Tua yang Kehujanan. Saya suka kisah ini. Dan juga Kejutan. Ada sesuatu yang menyentak. Hidup, seperti roda yang kadang berjalan lambat tapi sewaktu-waktu bergulir ke atas atau ke bawah dengan cepat.

Salah dan Meminang Malam juga memesona. Salah menggambarkan kita, manusia dengan segala kompleksitas-nya. Meminang malam adalah kerinduan pada malam yang dalam keheningannya selalu mendekatkan kita pada Sang Pencipta.

Dan inilah yang membuat saya tersadar, mengapa saya begitu terpaku membaca tulisan-tulisan dalam prosa ini. Saya adalah penggemar berat karya-karya Kate Dicamillo. Dan, saya juga akan menggemari karya-karyamu, ‘Ndi . Sukses untukmu ya.

Terima kasih, Mba Enggar 🙂

Kejutan Lagi

Buku Kejutan! mejeng di Sister Magazine edisi Juli 2011 🙂

Koran Tempo Mencatat Buku “Kejutan!”

Prosa Mengejutkan Andi Gunawan

Buku ini berisi 40 prosa dengan beragam tema. Andi Gunawan, misalnya, menuliskan pengalamannya mengurus pembuatan kartu tanda penduduk hingga surat untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak semuanya panjang hingga beberapa paragraph. Ada yang Cuma satu kalimat. Judulnya “Aku Rindu Air Matamu yang Dulu”. Isinya: sebelum dosa sederas hujan paling hujan.

Secara umum, prosa karya Andi, yang pernah kuliah empat semester di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka ini, bahasanya cenderung muram, tapi dirangkai dengan indah dan bunyi.

Pada prosa berjudul “Buat Ani”, misalnya, Andi menyisipkan pesan untuk lebih banyak berbuat dan bersyukur. Angka 16 lebih dari sekadar usia. “Berhentilah mengeluh soal banyak hal sepele. Jangan hanya berpikir bagaimana tampil kece,” tulisnya.

Koran TEMPO Minggu, 22 Mei 2011, halaman A14

Kemas Ulang KEJUTAN!

Pada mulanya, Antologi Prosa Kejutan! Adalah bagian dari proyek 99 Writers in 9 Days yang diterbitkan secara mandiri melalui nulisbuku.com pada Oktober 2010. Dengan cara Tuhan, buku ini kemudian diterbitkan dan dikemas ulang oleh LiniKala Publishing, dari 20 judul prosa menjadi 40 judul prosa.

Antologi Prosa KEJUTAN!

Penulis ANDI GUNAWAN Penyunting DANIEL PRASATYO

Ilustrasi Isi GITA LISTYA Desain Sampul PUNGKY PRAYITNO

Penerbit LINIKALA PUBLISHING

MINISINOPSIS

Prosa-prosa dalam Kejutan! adalah cerminan babak-babak dalam drama bernama Kehidupan—sebuah drama mahakejut yang skenarionya tak pernah dapat terbaca. Ditulis sekaligus dalam diksi sederhana dan paradoks-paradoks mengejutkan yang sangat dekat dengan masyarakat. Buku ini akan sampai pada celah terdekat antara logika, rasa, dan realita setelah kau membacanya. Nikmati setiap kejutannya.

TESTIMONI

CERITA yang baik sama sekali tidak ditentukan oleh seberapa banyak kata yang digunakan dalam bercerita—dan buku ini menunjukkannya dengan baik. Sejumlah cerita hanya terdiri dari beberapa kalimat namun menggema begitu panjang seusai kita membacanya.

M. Aan Mansyur, penyair, Makassar.

KEMURAMAN yang indah. Ketika gelap tak selalu kelam, ketika muram tak selalu diam, demikianlah Andi Gunawan menggubah malam menjadi pualam.

Daniel Prasatyo, editor, Jogja.

SATU hal penting dari tulisan Andi Gunawan adalah ia berhasil menyentuh sisi humanis gue. Rasanya mau cepat  mendaratkan kaki di rumah, lalu menghadiahi satu demi satu kecupan di pipi orang-orang tersayang.

Erdian “ANJI” Aji, penulis dan musisi, Jakarta. Continue reading