Posts Tagged ‘ Sajak Cinta ’

Membaca Sapardi

/1/
Sapardi,
sebentar lagi datang juni
belilah payung baru sebab kau
akan kelelahan menerka hujan
seperti menerka sebuah tujuan

Sapardi,
sebentar lagi datang juni
kalau nanti benar turun hujan
simpan bolpoin, kunyahlah eskrim
ada dingin yang tak menyeduh sedih

/2/
setiap juni aku membayangkan
hujan yang kau puisikan, Sapardi
sebagai kejatuhan yang sedang;
          gemuruhnya tak panjang
          mungkin dalam sebuah perjalanan

setiap juni aku menggumamkan
o angin, bisikkan kepada Sapardi
apa yang lebih tabah dari bulan basah;
          puisi-puisi pasar yang sepi
          ataukah riuh kepala sendiri?

/3/
setiap juni engkau selalu kembali
menerbitkan layar kenangan sekali lagi
dalam pesan nyaring yang kusesali;
          jangan terlalu banyak membaca Sapardi
          nanti kau lupa aku ini puisi

Depok, Mei 2013

Luka yang Tak Laku

luka yang kau ciptakan
sedang bersembunyi
dalam ketiak kata-kata masam;
menyesali dirinya dilahirkan

oleh sepasang bibir hitam
yang kehilangan lengkung–dicuri
dan dibuang waktu
yang terburu-buru

kau si pencipta luka
masih tinggal di sana
di hari lalu

kemudian saat pagi masih muda
aku bergegas pergi ke pasar
menjajakan anak-anak luka
berharap dibeli seorang saudagar
yang bosan membeli kebahagiaan

lalu kutemukan diriku sendiri
sebagai penawar tertinggi

Depok, 2013

Tiga Sebab

tiga stasiun lagi dan aku tak akan sampai ke mana-mana
sebab kepalamu menggeleng lebih cepat dibanding laju kereta

sebab ada yang luput pada setiap lambaian tangan
cara-cara merelakan dan isi cangkir yang harus dikosongkan

sebab seperti mereka yang diasingkan ke pulau-pulau jauh
tak semua cinta betul-betul ingin pulang, sungguh

(2013)

Abu dan Usaha Bunuh Diri yang Terlambat

Abu

Engkau,
sajak pesona tak berjarak, menjadikan aku
si buta ingin belajar membaca.

Engkau meredup, aku meraba.
Jantungku berdegub, napasmu kujaga.
Sesaat setelah kau melangkahkan kaki,
napasku tak berhenti.

Satu harapanku berhenti.

Lalu engkau menulis sajak, serta merta
dadaku sesak. Cemerlang di matamu
bagai bahagia dalam opera. Menangislah.

Aku merelakan kita
jadi anak persetubuhan api dengan kayu.

(2011)

 

Usaha Bunuh Diri

keriaan masa lampau ialah rayap
dan kau kursi malas yang bergoyang-goyang
lalu tumbang sendiri

karena sepasang lenganmu kalah luas
dari bayang-bayang panggung yang emas

(2012)

 

Terlambat

hidup bertumbuh jadi melankolia berbaju penyesalan
tapi siapa sanggup menolak takdir dan aku terlanjur mangkir
dikuasai biru kemalangan sebelum kaulancarkan aba-aba
              siapa pula sanggup mengukur kita?

(2012)

Hap!

Kau patahkan hatiku berkali-kali
dan aku tak mengapa,
sebab hatiku ekor cicak.
(2013)

Setengah Lusin Sajak yang Lebih Pendek Dibanding Ingatanmu Tentang Aku

/1/
Selain matahari,
ada yang menyala pagi ini;
korek api dan sebatang sepi.

/2/
Kaulah embun itu
jatuh pasrah di tandus dadaku
–basah sebentar saja.

/3/
Pada tempat yang tak tetap; dada, jalan-jalan,
dan sepanjang ingatan–rindu menetap. Continue reading

Yang Lebih Manis dari Kau

di sinilah aku sekarang,
menekuri keriaan yang terampas
oleh tahun-tahun panjang yang meninggalkan ampas
yang tak pernah bisa kita telan karena mulutku dan mulutmu
terlanjur lelah menumpahkan kata-kata yang tak perlu

di sinilah aku sekarang,
sibuk bertanya kepada sendu senja
mengapa rindu tak diurus negara saja
biar ditangkapi mereka yang tak bersalah: jarak dan isi hati
biar aku tak mesti melangkahkan kaki
mencari tahu siapa yang mengeringkan airmatamu hari ini

kemudian di sinilah aku sekarang, memeluk tubuh sendiri
sebab ada yang lebih manis dari kau: kepahitan di bibir ini

(2013)

*ditulis sembari mendengarkan album musik Dini Budiayu: Sometimes, Bitter is Sweeter, to Taste.

Suatu Hari yang Panjang

Setiap pagi aku dan kau menyingkap ragu yang selimut di dada-dada sendiri dan sepasang cangkir kopi menjadi bukti genap tak melulu hangat sebab dinding setinggi dagu berlapis cat berwarna abu-abu masa lalu menguapkan kopi lebih cepat daripada lesat waktu yang malas kita hitung sebab jari-jari aku dan kau sibuk menjumlah bilangan ganjil yang mengganjal di sejengkal jarak lenganku dan lenganmu, lalu matahari menyilaukan terang masa-masa silam –saat kopiku dan kopimu saling menyelam.

Kemudian pada malam hari, aku dan kau memejam mata sembari menyapa punggung satu sama lain untuk saling menemukan. Sekali lagi.

(2012)

Tenggelam

Punggungmu jalan setapak
dan aku tak mengenakan sepatu.
Kakiku tertusuk ranting
peninggalan masa lalumu.
Lalu luka ialah pepohonan
yang tiba-tiba tumbuh
di halaman dadaku.
Rindang sekali.
 
 

O, ada sungai di matamu
dan aku tak bisa berenang.

??????????????????????????????????????
Pancoran, 2012  

Piknik

 
sore hari dan usiaku dua puluh empat 
aku butuh lebih dari dua lusin pakaian 
untuk menghangatkan lapuk gigil tubuhku
sebab api dalam tungku matamu padam 
sebelum kita dipejamkan ciuman-ciuman
 
kemudian hujan menderaskan ingatan 
betapa kerap aku abai memeluk keringat 
sendiri, dan terlalu sibuk menelan masam 
peluh wisatawan asing di halaman dadaku.
 
(2012)