Posts Tagged ‘ Foto ’

Anggap Saja Potret

Sudah lama tidak menerbitkan halaman baru di blog ini. Mungkin karena kata-kata juga butuh rehat, seperti halnya saya. Di tengah masa rehat, sembari menunggu kabar baik dari penerbit untuk buku saya berikutnya, saya menemukan foto-foto ini dalam salah satu folder di salah satu flash-disk saya. Dengan alasan yang sukar saya sampaikan, saya suka sekali foto-foto ini. Hitam dan putih bikin abu-abu makin kentara. 

AndiModestus1

AndiModestus2

AndiModestus3

AndiModestus4

AndiModestus5

AndiModestus6

Dijepret secara hore oleh Tegar Umbara.

Oiya, pria berkaus The Jones ini mengaku bernama Modestus.

Rekam Jejak Lajar Djingga di Tanah Garut

HARI #1

Wisata Alam: Garut, Kota diriung ku Gunung

“Bade ka marana, A? Cikajang? Pameumpeuk?” kalimat itu  yang kami dengar berulangkali begitu kami menginjakan kaki di terminal Guntur Garut. Sapaan ramah yang disertai nada harap langsung menyentuh. Memang sedikit berbeda jika dibandingkan ketika kita berdiri di Terminal Kampung Rambutan atau belahan lain Jakarta. Biasanya, orang meneriakkan informasi rute tujuan bus angkutan. “Cawang!!! Cawang!!!” atau “Cililitan!!! Cililitan!!!” Di  sini, mereka bertanya ke mana tujuan kita. Di sini, di Garut.

Garut terletak di 50 km ke arah timur dari Bandung, ibu kota Jawa Barat. Area yang berpenduduk  hampir tiga juta jiwa ini merupakan kelanjutan dari kabupaten Limbangan. Pada tahun 1813 – 1831, ibu kota Limbangan dipindahkan ke sebuah lokasi subur di sisi sungai cimanuk yang menampung aliran air dari berbagai pegunungan yang mengitarinya. Cikuray, Papandayan, Guntur, Galunggung, Talaga Bodas dan Karacak.

Panorama Gunung Cikuray, Garut

Pembangunan ibu kota baru kabupaten Limbangan itu memakan korban seorang pekerja yang tergores.  Dalam bahasa Sunda, tergores berarti kakarut, namun orang Belanda melafalkannya dengan “gagarut”. Kemudian kota tersebut dikenal dengan sebutan Garut.  Pada tahun 1913, Kabupaten Limbangan resmi berubah nama menjadi Kabupaten Garut.

Kami menjejak di Garut menjelang dzuhur, setelah menempuh sekitar empat jam perjalanan dengan bis Ekonomi AC Lebak Bulus–Garut. Dari terminal Guntur, kami melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan umum 03 menuju Kampung Panawuan, tempat kami menetap tiga hari ke depan. Setibanya kami di gerbang Panawuan, Kang Ucup, salah seorang warga, menyambut dengan hangat dan membawa kami ke rumah Pak Rian, seorang warga yang meminjamkan rumahnya untuk kami tinggali. (Anehnya, hingga kami pergi meninggalkan Garut, tak sekali pun kami bertemu dengan orang bernama Rian itu).

Setelah ibadah sholat Jumat, kami menikmati jamuan makan siang di rumah Kang Wahyat,  Tokoh kampung yang sudah menjabat sebagai Ketua RW selama 15 tahun itu menemani kami makan bersama. Tampangnya agak seram. Dengan perawakan kekar setinggi hampir 180 cm dan sorot mata  yang selalu tajam melengkapi kesan angker pria berkulit gelap ini.  Tapi di luar itu semua, beliau seorang humoris yang ramah. Setelah makan, beliau mengajak kami mengunjungi kantor Kelurahan Sukajaya guna menyampaikan maksud kedatangan kami.

Kami amat menikmati berbagai sambutan hangat dari tokoh–tokoh masyarakat di kampung ini. Tapi, bagaimana pun, kami tidak bisa berbohong dan menyembunyikan ketidaksabaran kami untuk segera menikmati alam pegunungan Garut. Kang Wahyat yang memahami itu segera menyiapkan sarana angkutan untuk membawa kami berwisata. Sambil menunggu kendaraan siap, masih dari tengah kampung Panawuan, kami menikmati gagahnya Gunung Papandayan dan Gunung Cikuray yang menjadi latar pemandangan kampung ini.  Dua dari beberapa gunung yang mengelilingi kota Garut. Selanjutnya kami menuju tempat pemandian air panas di kawasan kawah Darajat, Desa Padaawas, Kecamatan Pasirwangi, untuk melepas lelah perjalanan. Hangat, sehangat perlakuan yang kami terima di tengah masyarakat Panawuan.

Jemaah Lajar Djingga di hadapan gagahnya Gunung Cikuray

Kualitas lingkungan di kawasan ini dapat dilihat dari tingkat kebersihan dan bentang alam yang sangat terjaga. Untuk ukuran suatu kawasan industri, kawasan Kawah Darajat ini tergolong bersih, tidak terdapat pencemaran sampah dan vandalisme. Selama perjalanan, kami dipandu oleh Teh Nenden, salah satu warga Panawuan yang seorang guru. Sebuah wisata alam yang menyenangkan. Setidaknya, kami bisa merebahkan sejenak kepenatan yang diberi ibukota.

Lajar Djingga di pintu masuk pemandian air panas Darajat

Hari pertama di Garut yang kami gunakan untuk mengenal identitas lokal dan diakhiri dengan sesi pengenalan diri demi perkembangan rasa keterhubungan antarjemaah Lajar Djingga. Satu per satu, jemaah Lajar Djingga menceritakan pengalaman hidup yang pada akhirnya membentuk karakter mereka. Dengan begitu, kami berusaha saling memahami karakter satu sama lain. Sebuah cara untuk mendekatkan hubungan sebagai sebuah tim yang diharapkan mampu membawa pikiran perubahan di tengah hegemoni pragmatisme. Bersama, kami berharap muda-mudi Indonesia mulai membiasakan diri berpikir kritis. Tak hanya sekadar pragmatis.

Continue reading