Archive for the ‘ Sajak ’ Category

Hujan Deras di Jakarta

hujan tak pernah merambatkan dingin
ia menerbitkan gigil di tengah kota
di dada pemulung yang kian dijauhkan dari kampung

hujan tak pernah menyeduh kopi
ia menguapkan pahit lidah para pejabat
membuntal lalu menjadi hujan di negeri pesolek

hujan tak pernah menciptakan puisi
ia melahirkan pelik di antara pucat
bait-bait sepi dan tagihan listrik rumah penyair tua

(Kalibata, 2015)

Selimut

 

Tirai jendela hotel terbuka sebagian pada sore itu ketika selimut memandangiku. Seseorang pernah mengenakannya dalam tidur yang ganjil dan tak sadar apa yang ia tinggalkan di sana. Warnanya tak pernah seputih sebelum ia datang.

Di balik jendela, angin menari-nari minta dikenali. Pohon-pohon mengangguk meminta ihwal yang sama. Berpasang-pasang sepatu tak bisa mengikat talinya sendiri. Jendela akan tertutup lagi dan aku akan meninggalkan bekas di selimut yang mudah dicuci.

Di kotaku, jendela-jendela lebih jarang terbuka.

Makassar, 7 Juni 2014

 

Puisi Ini Berisi Panduan Menjadi Baik-baik Saja

mati.

Jakarta, Juni 2014

Menulis Puisi

 
kepalaku pening sekali
malam dan sepi 
sudah jauh tinggi
tapi sejudul puisi
tak ada yang jadi
 
ternyata
aku lebih butuh gaji
 
Jakarta, 23 Maret 2014

Malam Puisi

malam ini malam puisi
huruf-huruf mengenakan gaun dan dasi
seperti pada sebuah pesta
mereka ingin jadi pusat segala mata
beberapa menjadi pelupa
saat pintu ditutup, langkah kaki merupa
dinding yang tingginya tak mampu kau terka

malam ini malam puisi
kata-kata tiba-tiba berbaris tertib sekali
seperti pada sebuah pagi
anak-anak berderet sebelum masuk kelas
mengenakan seragam kaku
sekaku perbedaan yang oleh moral terpaku
seolah menjadi lain ialah binatang buas

malam ini malam puisi
kalimat-kalimat kompak mencari alamat
namun diam di tempat
sembari terus berkoar-koar ingin didengar
tegak tetapi tiada bergerak
sementara duka sengsara berarak beranak
memanjang dan tumbuh rindang tiada habis

malam ini malam puisi
bait-bait tertabuh melahirkan aneka bunyi
bisik, gumam, dan halo-halo
mirip bunyi langkah-langkah berkilo-kilo
terlalu jauh mereka pergi
menjangkau cahaya paling kilau dan tinggi
yang sejak semula tak pernah beranjak dari hati

Depok, 13 Februari 2014

Ada yang Menari di Dalam Kepalaku

ada yang menari di dalam kepalaku
kadang ia seorang bapak tua
setia membawa pisau
terlipat dalam sepatu
tajam memangkas
semaunya

ada yang menari di dalam kepalaku
kadang ia seorang perempuan
lengkap dengan kantung
berisikan cahaya
tapi tak tampak
silaunya

ada yang menari di dalam kepalaku
kadang ia seorang bocah laki-laki
yang ingin menangis
lantang sekali
namun tak ada
suaranya

[2013]

17 Oktober 2013

Terkadang,
kembang apilah cinta
menyala sekali saja
tanpa punya kesempatan kedua
sementara ciuman pertama tetap di sana,
duduk manis menunggui yang ada atau sebaliknya.

Kemudian sepasang bibir menjadi perkara maju-mundur
yang ingin berlibur dan melebur
ke dadamu; tempat kenangan tumbuh subur,
meski daunnya tak berhenti gugur
dipukuli barisan angan dan angin
yang berbisik kepada jendela:

“Belilah baju merah, Tuan.
Sampai kapan duka akan kaukenakan?”

Ke Mana Kita Akan Pergi?

Di ruang-ruang maya
lidah-lidah menjulur
lebih panjang dari semestinya
bicara tentang semesta
seolah apa saja terukur
menurut kehendak mereka.

Kau dan aku terlalu asing
untuk menerima undangan pesta.

Ke mana kita akan pergi?

Di ruang-ruang tertutup
tak ada celah tersisa
bagi semut bersaudara
untuk sekadar mengecup
manis yang selalu berada
di dalam besi-besi tua.

Kau dan aku terlalu besar
untuk mencuri barang sekuku saja.

Ke mana kita akan pergi?

Di ruang-ruang terbuka
mata-mata sibuk sekali
menggenggam erat senjata
selamatkan langkah kaki sendiri
sebab kesempatan kedua
entah di mana mengurung diri.

Kau dan aku terlalu lelah
untuk menghadapi panjangnya usia.

Ke mana kita akan pergi?

Depok, 2013

Suatu Subuh pada Hari Senin dan Sebuah Musim Pendek

Suatu Subuh pada Hari Senin

getir sampai ke ujung lidahku, pukul setengah lima pagi, sesaat setelah ingatan membangunkan aku dari tidur yang ganjil. kemudian angin mengantarkan gemertak gigi-gigi yang bergetar, sesuatu dalam dadaku bergoyang-goyang menjatuhkan pertanyaan seperti embun; adakah kau bersedih bila aku hilang? lalu ditelan tanah, diuapkan udara.

ha-ha-ha. duka selalu saja meneriaki dirinya sendiri tentang menjadi tabah, tanpa memberi arah.

(2013)

Sebuah Musim Pendek

Kita pernah sepakat bahwa ada yang lebih bah dari hujan paling hujan, punggung-punggung kita yang saling tatap. Lalu saat kemarau datang, tak ada yang lebih gersang dari ladang ingatan tentang musim pendek di dada kita. Dan payung hitam tak tahu, dirinya tak pernah cukup mengadang badai. Membuat kau berteduh di bawah pohon hari lalu—sendiri saja.

(2013)

Perempuan dalam Tubuhku

_MG_5301

perempuan dalam tubuhku gemar sekali menonton televisi sepanjang hari sepanjang minggu sepanjang bulan sepanjang tahun yang melambat berkat drama akal-akalan tentang harga diri dan buramnya alat-alat kencing

IMG_20130417_152644

perempuan dalam tubuhku gemar sekali mengangkat tangan sampai dada sepanjang hari sepanjang minggu sepanjang bulan sepanjang tahun yang sepi mirip rapalan doa tersembunyi sebab amin sibuk membangun surganya sendiri

IMG_20130417_153009

perempuan dalam tubuhku gemar sekali duduk berlama-lama sepanjang hari sepanjang minggu sepanjang bulan sepanjang tahun yang tak ingin diulanginya sebab berdiri di atas kaki sendiri seringkali tak lebih dari sekadar keganjilan

IMG_20130415_004627

perempuan dalam tubuhku gemar sekali mengunci punggungnya sepanjang hari sepanjang minggu sepanjang bulan sepanjang tahun yang merunduk dan begitu ingin dipanen tapi mati mengering sebab paman petani hijrah ke kota besar

(Depok, 2012)

*Foto: Tegar Umbara