Posts Tagged ‘ 111 Kata ’

Tulus

Seingatku, aku tak pernah seiseng ini. Aku menemukan KTP saat sedang mencari botol dan gelas plastik bekas untuk kuuangkan kemarin. Pas fotonya agak buram tapi aku masih bisa membaca namanya, Tulus Pratama. Alamatnya pun terbaca dan aku sedang mencari jalan ke sana sekarang.

Aku tidak punya KTP tapi aku tahu betul kerepotan akibat tak memilikinya. Warno, tetanggaku, kesulitan cari kerja karena tak memiliki KTP. Akhirnya ia berhutang Rp200.000,- pada Bang Togar. Kata Pak RT, nominal itu terbilang murah sebagai harga teman. Blah!

Setelah berkeliling sembari bertanya kepada siapa saja di jalanan, aku sampai di depan rumah sesuai alamat. Tombol berwarna putih kutekan. Seseorang membuka pintu, perlahan.

“Pak! Bu! Mas Tulus pulang!”

———————————-

[Andi Gunawan, Juli 2011]

Anomali

Gelap. Aku melihat setitik cahaya mendekat. Ada hangat yang tiba-tiba sampai ke tubuhku. Tak mau penasaran, kubuka mataku. Perlahan.

Bidadari telanjang di hadapanku. Cahaya itu ia, laki-laki.

Senyumnya mengembangkan sayap-sayap di punggungnya. Sayap-sayap itu memelukku yang serta-merta ikut dalam ketelanjangannya, dan menggigil. Sebenar-benarnya, ia begitu hangat dan aku tak berhenti menggigil. Diciumnya bibirku dan tetap aku menggigil. Ia rapatkan tubuh lembutnya ke tubuhku hingga tercipta pertemuan buah-buah pelir mungil. Aku menggigil.

Seiring erat peluknya, cahayanya kian terang. Menyilaukan. Kupejamkan mata dalam satu tarikan napas untuk menghalau silau. Saat kubuka mataku, aku tak lagi telanjang dan matahari masuk ke kamarku diam-diam, silau.

Ah, celanaku basah. Aku merasa aneh meski orang-orang menganggapnya lumrah.

[Andi Gunawan, Jakarta, 21 September 2011]

Mencari Jalan

Pria itu mulai tunduk setelah pagutan pertama. Ia menyerah saat aku melucuti pakaiannya, satu per satu. Bibirnya masih berkutat di bibirku saat ia melakukan hal yang sama, menelanjangiku. Tanganku mengencang di bahunya, menghadapkan punggungnya ke cermin. Di sana, aku semakin mendekati tujuanku. Aku bersama orang yang tepat.

Aku tak menolak dilemparnya ke ranjang. Telah kusiapkan hadiah untuknya di bawah bantal. Perkakas yang akan mengantarku pada kejayaan.

Tubuhku terduduk di atas perutnya dan ciuman kami menghasilkan desahan setiap matanya terbuka-menutup.  Tangan kananku menelusup ke balik bantal. Setelahnya, pisau menancap tegas di dada kirinya. Ia mandi darah, menuju neraka.

Perlahan, kubalikkan tubuh kaku itu dan bersiap menguliti punggungnya. Sebuah jalan terbuka lebar untukku.

[AG, Mei 2011]

*ilustrasi diunduh dari sini.

Abdi Suami

Kikuk. Takut. Ini kali pertama Sari bertandang ke rumah Drajat, lintah darat. Ia tahu betul bagaimana reputasi lelaki itu. Drajat tak pernah pelit, terlebih pada wanita.

“Suami saya bangkrut, Bang. Perlu suntikan dana untuk bayar utang dan modal. Kalau usaha barunya nanti lancar, kami cepat kembalikan.” Sari ragu-ragu menyampaikan maksudnya. Nekat. Ia tak mau melihat suaminya babak belur dan berakhir di kubangan karena tak bisa melunasi utang.

“Butuh berapa?”

“Lima juta.”

Drajat terlihat berpikir. Ia tak sedang memikirkan soal pengajuan pinjaman. Ia memikirkan hal lain yang lebih menyenangkan..

“Lima juta tak masalah, asal kau mau menginap semalam saja di sini.”

Sari tak kaget mendengarnya. Sejak awal, ia sudah siap melepas kutang.

 

[AG, Depok, Maret 2011]

Pahit

Wulan selalu dapat menikmati kopi hitamnya, tanpa gula. Baginya, gula hanya merusak aroma. Merusak rasa yang memiliki kodratnya sendiri. Membuatnya mirip palsu. Ia benci kepalsuan.
***

“Pelacur! Pergi kau dari sini!”
“Pelacur tidur dengan sembarang pria. Aku hanya tidur dengannya.”
“Tarno pergi ke kota sebelum kau hamil. Siapa yang percaya kau mengandung cucuku!”

Wulan segera keluar dari rumah orang tua Tarno. Ia tak kembali ke rumahnya. Ini bukan penolakannya yang pertama. Ia pergi mencari kotanya sendiri.
***

Wulan sedang menyesap kopinya saat Abdi, anaknya, pulang dari mengaji dan memberinya tanda tanya.

“Kenapa Ibu suka sekali kopi? Pahit, kan?”
“Ada yang lebih pahit.”
“Apa?”
“Nanti, kalau kau sudah cukup dewasa, kau akan tahu sendiri.”

[AG, Depok, Desemeber, 2010]

Pertemuan

Rani sedang berjalan keluar bank saat seorang dari antrean memanggilnya.

“Rani! Maharani?”

“Rama.” Rani menyebut nama pria itu, lembut, lalu mematung.

Dialah satu-satunya alasan Rani melanjutkan S2, alih-alih menolak perjodohannya. Matanya mengarah ke tangan Rama, kiri ke kanan. Ia bersyukur tak menemukan yang dicarinya. Tak ada cincin melingkar di jari-jari itu. Ini harinya.

“Apa kabar?” Rani ingin sekali menjawab bahwa ia tak pernah merasa sebaik hari ini. Bahwa ia sangat menunggu pertemuan ini.

Rani sedang menata kalimatnya saat seorang anak yang sedari tadi memerhatikan mereka menginterupsi, “Siapa tante ini, Pa?”

“Ini Tante Rani, teman kuliah Papa.”

Rama mengenalkan Rani pada anaknya. Rani mematung, lagi. Masa lalu punya caranya sendiri untuk kembali.

[AG, Depok, Desember 2010]

Pertama

“Panas banget kamarmu, Ray.” Peluh Diana membasahi kausnya, di punggung. Klik. Kipas angin berputar, pun gairah Rayhan sama kencang, berputar. Sebelah pintu almari terbuka, menutup jendela.

Sapu tangan Rayhan menyeka keringat Diana. Mulai dari kening, mendekati leher. Mendekati dada lalu melantai. Rayhan mendekatkan dirinya, nyaris tak berjarak. Sebuah pagutan menghilangkan jarak mereka. Lembut. Basah.

Tangan Rayhan menelusup ke balik kaus Diana. Ada hangat menjalar di tubuh perempuan itu. Hangat yang tak biasa, yang menyentakkan Rayhan ke dinding kamarnya.

“Kenapa?”

“Aku belum pernah melakukannya.”

“Selalu ada yang pertama, sayang. Tak usah takut.”

“Aku takut aku bukan yang pertama.”

“Hah?”
“Namaku Diana, bukan Melisa.” Pandangan Diana mengarah ke sapu tangan di lantai, tajam.

[AG, Depok, Desember 2010]

Restu

Rosaria tahu waktunya telah tiba. Lima-puluh-tiga tahun cukup untuknya mengabdi sebagai manusia. Ia tak sabar menghadap Tuhannya. Ia takkan memohon surga. Ia hanya ingin berbincang tentang hari-harinya. Tentang suami, putra, dan calon menantu idamannya. Tentang  firman Tuhan yang diabaikan sesamanya.

“Buka alkitabku. Ada yang harus kau baca.” Rosaria sempat berpesan pada putranya, Renhard, sebelum ia benar-benar tak bisa menikmati udara.

Di rumah duka, Karina siap dengan kotak riasnya. Ia menghadap jenazah Rosaria, damai dalam senyum terakhirnya. Renhard datang dan memberikannya selembar kertras.
Karina. Aku tak mau didandani. Biarkan aku menghadap Tuhan seperti pertama kali menghadap dunia. Imanku, riasanku. Berhiaslah dengan baik saat Renhard menikahimu. Aku akan meminta restu Tuhan untuk kalian.
[AG, Depok, Januari 2011]

Untuk Pengantar Sup Panas yang Kehujanan

Wanitaku
Hari ini aku bangun pagi, senang.
Entah apa yang kaurasakan.
Semoga saja sama senang.

Kau masih tertidur di ranjangmu saat kuterbangun. Bangun dari ketakutan. Bangun setelah dijatuhkan tatapan hina orang-orang. Bangun karena kau menyadarkan aku terlalu hebat untuk dijatuhkan. Menyadarkan aku terlalu kuat untuk dikalahkan.

Dulu, aku sempat mengemasi mimpi-mimpi dan beranjak pergi, membohongi diri. Dulu, aku berpikir telah sampai di halaman terakhir cerita yang ditulis Tuhan untukku.

Lalu, kau datang menyulam lagi mimpi terlupakan. Memulai kembali cerita dari halaman pertengahan buku takdir Tuhan . Kau membantuku lebih mudah memijakan kaki daripada hari-hari sebelum kau datang .

Wanitamu

*Aku kerja ya, sayang. Kusisakan sup untukmu. Kau bisa menghangatkannya untuk sarapan.

[AG, Depok, Desember 2010]

Pamit

Mahaguru, manusia terpilih tanpa pamrih, terima kasih untuk setiap jawaban atas segala tanda tanya. Untuk ikhlas yang tak terbalas. Untuk lembar-lembar wacana tentang dunia dan pergerakannya.

Maaf untuk predikat yang tertunda. Saya tidak –atau belum memerlukannya. Bukan tak mau, hanya saja saya harus bekerja atau mati kelaparan. Ini bukan mau saya. Saya menyebut ini cara Tuhan, mantap tanpa gelagap.

Saya tahu Anda kecewa. Sayangnya, sarapan harus selalu ada untuk ibu saya. Oya, sebentar lagi tahun ajaran baru. Saya tak berhak memiliki benda ini lagi. Saya pamit.
A

Lelaki itu terpaku pada bolpoin di tangannya. Hitam. Aksen keemasan melingkar di tengah dan sisi atasnya. Mahasiswa Berprestasi tertulis tegas di badan bolpoin itu.

[AG, Depok, Desember 2010]