Ingin yang Angin

Aku ingin menjadi matahari. Menjadi yang pertama menyapamu dengan kehangatan setiap pagi. Hangat yang tak bisa kauhindari. Aku ingin menjadi air. Menjadi pembasuh setiap peluh lelahmu yang merindukan tenang petang. Rindu yang tak melulu dapat kupetik. Aku ingin menjadi angin. Menjadi pemeluk setia tanpa takut tatapan dingin ibu yang pemarah setiap malam. Marah yang tak mampu kita cegah.

Aku ingin menjadi apa saja—yang selalu kaupikirkan saat tak sedang memikirkanku.

Angin

Hujan Deras di Jakarta

hujan tak pernah merambatkan dingin
ia menerbitkan gigil di tengah kota
di dada pemulung yang kian dijauhkan dari kampung

hujan tak pernah menyeduh kopi
ia menguapkan pahit lidah para pejabat
membuntal lalu menjadi hujan di negeri pesolek

hujan tak pernah menciptakan puisi
ia melahirkan pelik di antara pucat
bait-bait sepi dan tagihan listrik rumah penyair tua

(Kalibata, 2015)

2014 in review

The WordPress.com stats helper monkeys prepared a 2014 annual report for this blog.

Here’s an excerpt:

The concert hall at the Sydney Opera House holds 2,700 people. This blog was viewed about 46,000 times in 2014. If it were a concert at Sydney Opera House, it would take about 17 sold-out performances for that many people to see it.

Click here to see the complete report.

Keluar Rumah

walk

Sejak Maret 2014, saya keluar rumah. Usia saya 26 tahun. Saya tahu saya terlambat. Sudah sejak awal usia 20an saya ingin tinggal sendiri. Bukan karena merasa sudah cukup dididik oleh orangtua, tapi saya merasa perlu mendidik diri sendiri. Perlu menemukan diri sendiri.

Proses saya keluar rumah agak alot. Ibu terus mempertanyakan alasan mengapa saya ingin tinggal sendiri. Saya terus mengutarakan kebohongan. Barangkali saya egois. Barangkali orangtua saya egois. Barang tentu adalah kami takut saling kehilangan.

Tinggal terpisah dari orangtua bukan perkara mudah. Sungguh. Banyak hal yang berubah. Saya dan orangtua, utamanya Ibu, jadi lebih sering banyak bicara meski melalui telepon. Saya jadi lebih sering sakit perut karena terlambat makan dan makan sembarang. Ibu jadi lebih sering panik saat saya tak mengangkat telepon darinya.

Suatu hari, ketukan pintu apartemen membangunkan saya dari tidur siang yang panjang. Saya baru bisa tidur subuh karena banyak pekerjaan dan daya ponsel yang mati sejak malam sebelumnya lupa saya isi ulang. Tentu saja Ibu panik bukan kepalang. Mengira putranya semaput di kamar sendirian atau tertimpa kecelakaan yang tak dapat ia bayangkan. Saya bangun, membuka pintu, lalu diserbu pelukan. Ibu. Ia memaksa sekuriti apartemen mengantarnya ke unit saya dengan sungai yang hampir meluap di matanya. Saya merasa konyol seketika. Sekaligus merasa begitu dicintai.

Selain mengubah banyak hal, jarak juga menguak banyak hal. Saya jadi tahu ternyata Bapak seorang pencemburu karena saya lebih sering menelepon Ibu. Saya jadi tahu bagaimana rasanya memupuk gengsi untuk tidak bilang saat sedang tak punya uang. Saya jadi tahu rasanya berutang dan paniknya ditagih saat tabungan belum cukup untuk melunasinya. Saya juga jadi tahu ternyata norak, lugu, dan manja juga dimiliki oleh Ibu.

“Mas, kalau Ibu ke Monas lihat Jokowi, boleh ndak?”

“Maaf, Mas. Uangnya habis nih. Soalnya Ibu beli sempak agak banyak di pasar. Sempak Ibu kendor semua. Kamu tahu sendiri si Bapak ndak pernah beliin Ibu begituan.”

“Kamu ndak kangen Ibu, Mas?”

Tentu saja saya kangen. Saya kangen masakan Ibu yang kadang terlalu banyak garam tapi selalu saya habiskan. Saya kangen obrolan sore hari di teras bersama Ibu dengan rokok masing-masing. Saya kangen omelan Ibu yang gemas karena saya selalu bangun lebih siang dari waktu yang saya minta ke Ibu untuk membangunkan.

Saya kangen Ibu yang kadang membuat saya merasa ingin pulang justru saat sedang berada di rumah. Saya kangen Ibu yang selalu membuka pintu selarut apapun saya mengetuknya. Saya kangen Ibu yang setia pada setiap doa baiknya untuk saya. Saya kangen Ibu yang selalu menganggap saya ini istimewa padahal tidak. Saya kangen Ibu yang tidak tahu alasan sebenarnya mengapa saya keluar rumah.

Saya ingin pulang.

Melamun

Apakah kau tak ingin menatapku seperti tatapan pertama kita yang canggung namun lekat?

Apakah kau tak ingin menciumku seperti ciuman pertama kita yang pemalu namun khidmat?

Apakah kau tak ingin memelukku seperti pelukan pertama kita yang gugup namun kuat?

Apakah kau tak ingin merindukanku seperti rindu pertama kita yang ganjil namun tepat?

Apakah kau tak ingin menanyakan pertanyaan yang sama kepadaku?

Yogyakarta, 2014

Yang Selalu Mampir Pukul Satu Pagi

Sepasang mata dan bibir terkatup dalam lelap tidurmu ialah puisi yang selalu kubaca sebanyak keraguanmu akan kata-kataku yang terlanjur tumpah tentang usaha menjadi baik-baik saja.

Sementara hangat yang diam-diam kuhantarkan lewat peluk yang kucuri dari punggungmu selalu melahirkan pertanyaan yang sama; mengapa kita tak pernah lagi sama?

Kemudian pagi selalu menjadi perkara yang tak dapat ditunda, yang menerbitkan matahari di keningmu–penerang jalan menuju pulangmu yang tak sanggup kucegah sebab aku tak pernah terlahir sebagai rumah.

Terima kasih sudah mampir.

(2014)

Beberapa Catatan tentang Buku Puisi Pertama Saya

Saya tidak menulis puisi-puisi terbaik, namun mereka terlanjur lahir dan perlu asuhan. Berikut adalah beberapa tanggapan dari para pengasuh buku puisi pertama saya, Hap!

SAJAK pendek Andi, yang dikurasi M. Aan Mansyur dan diterbitkan Plot Point, adalah sajak orang yang sembunyi. Kita seperti diajaknya menjadi pemuja rahasia, yang hanya berani “mengembangkan sesimpul lengkung” di bibir di balik punggung sang pujaan, yang “berbinar sempurna dalam tunduk sipu” tiap disebut namanya, yang “memilih terduduk saat jarakmu berdiri dengannya hanya beberapa kepal”, sambil melirik waswas, dengan berpegang pada keyakinan dalam Sehimpun Sajak Pendek yang Ganjil tentang Kau:

Jika ternyata cinta adalah kepasrahan,
aku akan mengabdi kepada diam.

Baca selengkapnya dalam Mata Esais, oleh Arief Bakhtiar

/2/

Pernahkah Anda merenungi sejenak mengenai penerimaan dan penolakan yang datang dari dalam dan dari luar diri Anda?

Itulah yang coba Andi lakukan. Sosok ‘Aku’ dalam sajaknya adalah aku yang mencari, pergi dan berlari. Mungkin, meskipun dalam sebuah perhentian, ‘Aku’ dalam sajaknya akan terus berlari, tampak dalam satu kalimat dari puisi “Murtad”: aku memutuskan mengimani waktu. Juga di puisi “Timbul Tenggelam” (hal.85) :

Tempo hari aku bangun
dengan pikiran seronok tentang bunuh diri
sepertinya aku mesti belajar berjalan
lagi

Pencarian terjadi ketika diri merasa krisis. Bicara soal identitas, pada dasarnya tidak ada identitas yang tunggal, seperti yang dikatakan Amartya Sen, penulis buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny (2007). Ada identitas yang terberi sejak lahir, ada identitas yang dicari sendiri. Dalam tumbuh menjadi dewasa, melebur antara keduanya seringkali mencipta ruang-ruang kosong yang memberi celah untuk terisi, melalui mimpi dan harapan, juga kekecewaan dan luka. Di celah itulah keganjilan akan sungguh nyata terasa. Identitas yang cair itu lumrah adanya, tidak lantas menjadi kesalahan, atau ketidaknormalan. Ditekannya kemungkinan-kemungkinan yang muncul berarti menyalahi kodrat otak manusia dan kemampuan berpikirnya. Continue reading

M. Aan Mansyur: Andi Gunawan dan Sajak-sajaknya

PlotPoint menyodorkan setumpuk sajak Andi Gunawan ketika saya sedang sering memikirkan perkembangan dunia puisi di Indonesia—utamanya karya-karya penyair seusia atau lebih muda daripada saya. Ada dua pertanyaan yang acap muncul di benak saya beberapa tahun terakhir ini. Pertama, kenapa semakin banyak anak muda yang gemar menulis sajak, ingin jadi penyair, padahal dunia puisi adalah dunia yang begitu sunyi? Dan, kedua, apa yang membuat anak-anak muda—utamanya di Internet—tampak begitu senang membaca sajak? Saya belum punya jawaban memadai untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, kedua pertanyaan itulah yang akhirnya membuat saya berani menerima tawaran PlotPoint untuk membaca dan memilah-memilih sajak-sajak Andi Gunawan untuk dibukukan.

Andi Gunawan, meskipun lebih dikenal luas di dunia stand-up comedy, mengisi hari-harinya dengan menulis beragam jenis tulisan. Saya kerap mengunjungi blognya. Tidak jarang saya penasaran dengan isi kepala dan kehidupannya. Beberapa tahun lalu, sebelum bertemu dengannya, saya menulis pengantar untuk buku kumpulan prosa yang dia tulis. Dari sana saya tahu bahwa dalam diri Andi Gunawan ada begitu banyak keresahan yang ingin dia tumpahkan. Kadang dia mampu menuliskannya dengan tenang, namun lebih sering tidak terkendali.

Ketika saya berhadapan dengan sajak-sajaknya, saya melihat keresahan-keresahan Andi Gunawan lebih tenang dan penuh perhitungan dijabarkan. Anda akan melihat Andi Gunawan senang membunyi-sembunyi-kan perasaan dan pikirannya di buku ini melalui sajak-sajak pendek. Dia tidak senang menceritakan perasaan dan pikirannya melalui sajak-sajak panjang. Saya tahu, keseharian Andi Gunawan dipenuhi dengan kata-kata. Di dunia nyata, dia salah seorang paling cerewet di negeri ini yang saya kenal. Tetapi, di dunia puisi, dia menjadi begitu pendiam. Dia kadang tampak gugup dan gagap bicara melalui puisi. Dalam puisi, dia terlihat selalu berperang dengan keraguan dan keyakinannya sendiri.

Saya pikir, perang tidak berkesudahan dalam diri Andi Gunawan itulah yang menarik untuk kita baca dalam sajak-sajaknya di buku ini. Dia tampak ragu sekaligus yakin bahwa puisi adalah jalan yang baik untuk berperang dengan diri sendiri. Ruang lengang yang lapang dalam puisi, termasuk dalam sajak-sajak pendek, adalah tempat yang baik bagi Andi Gunawan untuk berhenti sejenak memikirkan dunia—baik yang ada di dalam dan di luar dirinya.

Saya tidak hendak mengacaukan pembacaan Anda atas sajak-sajak di buku ini dengan terus mengoceh. Saya tidak ingin menceritakan lebih jauh perasaan dan pengalaman saya bersentuhan dengan sajak-sajak Andi Gunawan ketika menyunting buku ini. Di ujung catatan kecil ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa sajak-sajak dalam buku ini bukanlah dunia yang rumit untuk dijelajahi—sebagaimana Jakarta, kota tempat penulisnya menjalani kehidupannya selama ini. Dalam buku ini, Anda akan bertemu dengan sajak-sajak sederhana yang separuh terkuak dan separuh terkatup, sarat ironi dan kemarahan yang malu-malu, juga humor yang memadai.

Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa saya bahagia bisa terlibat dalam penerbitan buku ini—dan selamat membaca.

Makassar, Mei 2014

M Aan Mansyur

Selimut

 

Tirai jendela hotel terbuka sebagian pada sore itu ketika selimut memandangiku. Seseorang pernah mengenakannya dalam tidur yang ganjil dan tak sadar apa yang ia tinggalkan di sana. Warnanya tak pernah seputih sebelum ia datang.

Di balik jendela, angin menari-nari minta dikenali. Pohon-pohon mengangguk meminta ihwal yang sama. Berpasang-pasang sepatu tak bisa mengikat talinya sendiri. Jendela akan tertutup lagi dan aku akan meninggalkan bekas di selimut yang mudah dicuci.

Di kotaku, jendela-jendela lebih jarang terbuka.

Makassar, 7 Juni 2014

 

Puisi Ini Berisi Panduan Menjadi Baik-baik Saja

mati.

Jakarta, Juni 2014