Posts Tagged ‘ Opini ’

Twitview: Politweet karya Salman Aristo

*Twitview adalah ulasan yang saya buat melalui Twitter dalam akun saya, @ndigun, dan saya rangkum di blog ini.

 

Politweet: Menjepret Politik Indonesia dalam Komik

Penulis            : Salman Aristo

Ilustrator        : Miko

Penerbit         : Bentang Pustaka

Harga              : Rp. 25.000,-

Tebal              : vi + 130 halaman

Kategori         : Komik

Terbit             : I, Desember 2010

 

Sinospis

“Kita harus menimbang reaksi rakyat ….”

“Siapa?”

“Pendukung Anda.”

“Ah ya. Lanjutkan.”

Politweet adalah kicauan jujur Salman Aristo terhadap dunia politik Indonesia. Berawal dari Twitter, kicauan yang terangkai dalam kisah-kisah mini ini disajikan dengan bumbu tambahan: ilustrasi. Menggelitik dan menyentil, kisah-kisah mini ini akan menghibur Anda tiada henti sekaligus berefleksi.

 

Twitview

1.

Tempo hari, Bentang Pustaka (@bentangpustaka) gelar kuis berhadiah buku Politweet-nya Salman Aristo (@salmanaristo). Aturannya, buat twit soal Nurdin Halid. Saya buat 1.

2.

Satu twit tentang Nurdin Halid sukses mengantarkan buku Politweet-nya Salman Aristo ke rumah saya pagi tadi. Tuhan memang mahakeren!

3.

Masih di atas kasur, dengan belek dan jigong yang belum luntur, saya buka paketnya. Politweet jadi sarapan saya. Renyah!

4.

Politweet: Mejepret Politik Indonesia dalam Komik diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Berisi 120 fiksimini (@fiksimini) Salman Aristo. Ilustrasi, Miko.

5.

Buku ini sukses membuat saya ngikik. Ini lebih dari sekadar komik. Salman Aristo membuat politik jd komedi yang asik. Ilustrasinya camik!

6.

Saya kira, Politweet adalah bukti bahwa kreatifitas sastra itu tak terbatas. Ruang sempit Twitter justru memberikan tantangan yang menarik.

7.

Berangkat dari fiksimini dan dengan bumbu ilustrasi, Salman Aristo melahirkan komik yang asik. Cara lain menertawakan politik.

8.

Lucu dan miris adalah perpaduan yang saya dapat setelah baca Politweet. Lucu melihat politik Indonesia. Miris, karena begitulah faktanya.

9.

Epilog oleh Hikmat Darmawan pun jadi catatan yang menarik untuk disimak. Tentang Twit(lit-)elature, karikatur, dan politik yang makin ngawur.

10.

Untuk pecinta komik dan pembenci politik: beli, baca, dan tertawalah! Politweet adalah karya cerdas dari Salman Aristo.

11.

Terakhir, ini bukan perkara pesan pendek, tapi padat. Politweet dibentuk dari fiksimini yang padat kalimatnya, padat maknanya. Tabik.

 

[Andi Gunawan, Depok, Pebruari 2011]

 

SBY, Bergurulah pada Sopir Taksi

Saat ini banyak orang dibuat gemas dan ragu oleh orang nomor satu negeri ini. Dengan keberuntungan yang luar biasa, SBY kini sedang dalam kali keduanya memimpin Indonesia. Adalah sikap ketidaktegasannya yang menggemaskan jutaan rakyat. Tukang sayur keliling di komplek rumah saya bilang, “Presiden kok menye-menye. Lha wong dia tinggal sebut A, ya semua menurut A.” Kegemasan ini lantas membuncah menjadi keragu-raguan. Ragu terhadap kinerja SBY serta kabinetnya.

Saya bukan ahli politik. Saya hanya pemuda bangsa yang peduli pada tanah yang kujejaki. Tetapi bukan berarti saya buta politik. Lah wong hampir setiap hari saya ‘bertemu’ dengan politik. Pagi tadi contohnya:

Ibu  : “Mas, nanti berangkat kerjanya bareng sama ibu ya.”
Saya: “Ibu mau kemana?”
Ibu  : “Mau ke rumah sakit. Cek darah. Temenin ibu ya.”
Saya: “Nanti saya bisa telat lho, Bu.”
Ibu  : “Ndak apa-apa telat sedikit. Mau ya temenin ibu? Nanti ibu tambahin ongkosnya.”

Apa itu bukan politik? Politik yang saya tahu adalah kegiatan orang atau sekelompok orang dalam mencapai tujuannya dengan berbagai cara (mohon koreksi). Dalam politik tak ada teman atau musuh abadi. Adalah kepentingan yang abadi. Ibu saya agaknya kurang peduli kalau saya terlambat sampai kantor asalkan keinginannya ditemani ke rumah sakit terwujud.

Sementara pemimpin sepengetahuan saya adalah orang yang tahu jalan, bisa menunjukkan jalan, serta ikut dalam jalan itu hingga ke tujuan. Jika SBY perlu figur untuk ditauladani kepemimpinannya, saya sarankan agar SBY berguru pada sopir taksi. Anda mau kemana? Depok? Rawamangun? Kebayoran? Tenang, sopir taksi tahu jalannya kok. Ia juga bisa menunjukkan jalan dengan baik serta ikut serta bersama Anda dalam jalan itu hingga Anda selamat sampai tujuan. Sopir taksi juga demokratis menurut saya. Ia selalu menanyakan kepada penumpangnya untuk memilih lewat jalan tol atau jalan biasa.

Anggaplah SBY adalah sopir taksi. Kita -rakyat- adalah penumpang yang ingin sampai ke tujuan. Tujuannya adalah kesejahteraan. Apakah SBY tahu jalan menuju kesejahteraan rakyat? Bila tahu, apakah ia bisa menunjukannya serta ikut bersama rakyat dalam jalan itu? Saya hanya punya satu kata terakhir: SEMOGA!

Pesan untuk penumpang: Tak selamanya jalanan lancar. Kadang Anda harus sampai lebih lama ke tempat tujuan karena macet. Sopir taksi tak bisa disalahkan karenanya. Asalkan Anda tetap selamat sampai tujuan ya lebih baik bersabar sedikit atas waktu.

[AG, Januari 2010]

Kelamin Bukan Penghalang

Pernah dianggap remeh hanya karena apa jenis kelaminmu? Aku punya cerita soal itu. Ada teman lelaki yang suka menari. Ia berlatih berhari-hari. Menari ke sana kemari. Lenggok sana lengggok sini. Putar kanan putar kiri. Hentakkan tangan dan kaki. Semakin sering ia menari semakin banyak yang memaki.

“Ngapain sih lo nari? Lo kan laki!”

“Eh, tahu ngga lo? Dia kan suka nari. Kaya banci aja deh!”

“Sekarang nari, nanti lama-lama mulai pakai bikini.”

Ada satu lagi teman. Perempuan. Ia gemar menentang. Terlebih soal kesetaraan gender yang timpang. Ia aktif menyuarakan pendapat. Soal pro bla bla bla atau kontra na na na. Ikut organisasi ini itu anu macam-macam lah pokoknya. Suatu waktu ia maju mencalonkan diri jadi ketua organisasi entah apa namanya. Rivalnya lelaki-lelaki muda yang merasa lebih pantas dipilih melancarkan serangan belakang lewat gosip murahan.

“Jangan pilih dia! Emang lo mau diperintah-perintah sama cewek?”

“Cewek bisa apa sih? Paling awalnya doang semangat!”

“Gue ngga mau punya ketua cewek! Pasti sensitif, secara lebih suka pakai perasaan. Apalagi kalau datang bulan.”

Sejak kapan kelamin mempengaruhi kemampuan seseorang? Toh, tarian tak mengenal jenis kelamin. Toh, banyak pemimpin dunia yang perempuan. Apa lelaki menari itu dosa? Apa perempuan jadi pemimpin itu dosa? Naif sekali mereka yang menganggap remeh kemampuan orang lain hanya karena jenis kelaminnya apa. Hei, ini era demokrasi! Katanya anak gaul harus beradaptasi dengan peradaban. Menyesuaikan diri dengan perkembangan. Percuma jika tampilan kalian amat sangat kekinian tapi pola pikir malah mundur jauh ke belakang.

Coba lihat Jacko, dia raja pop dunia yang hampir semua dari kalian menggemarinya. Dia lelaki dan dia menari. Apa kalian pernah mempermasalahkan gerakan moonwalk-nya hanya karena dia lelaki? Aku rasa justru banyak dari kalian yang juga lelaki menirukan gerakannya. Akuilah! Dan apakah Jacko terlihat seperti banci? Apa kalian yang tidak menari merasa lebih jantan ketimbang lelaki yang menari? Ini bukan soal tarian sebagai barometer kelaki-lakian seseorang. Ini soal keberanian menentukan pilihan. Keberanian mengikuti hasrat yang sejalan dengan kebisaan. Justru kalian yang gemar bergunjing di balik punggung orang lain lah yang banci. Maaf, kali ini aku benar memaki.

Kalian lupa pernah punya presiden perempuan? Aku ingatkan, Megawati namanya. Tentu ia jadi presiden bukan karena embel-embel nama bapaknya yang dulu juga presiden. Aku yakin banyak proses yang ditempanya sebelum akhirnya jadi presiden. Selama kepemimpinannya ia mampu jadi pepimpin yang baik dan ini bukan karena jenis kelaminnya. Ayolah, ini soal kemampuan dan kredibilitas. Bukan soal kelamin apa yang ada di antara selangkangan.

Bagian yang memuakkan adalah saat teman-temanku yang dianggap remeh itu berhasil dengan cara mereka sendiri. Mereka yang sebelumnya mencaci maki tralala trilili berebut simpati.

“Lo tahu ngga yang menang festival dansa kemarin? Keren banget yaa dia! Dia temen gue lho.”

“Ketua senat gue baru pulang dari Aussy lho. Dia ikut study banding di sana. Hebat yaa! Gue deket banget lho sama dia.”

Hahaha! Lucunya mereka. Kau tahu? Banyak hal yang lebih penting ketimbang menjadikan kelamin sebagai tolok ukur kemampuan seseorang. Jika nanti aku kaya raya banyak harta di mana-mana dan perusahaan rupa-rupa, aku tak akan pernah mencantumkan “diutamakan lelaki” atau “diutamakan perempuan” dalam syarat menjadi karyawan. Sungguh ini bukan bualan. Anggap saja harapan atau angan-angan atau apalah yang bisa kuamini. Jangan biarkan satu jenis kelamin mendominasi atau menindas jenis kelamin lainnya. Ayo kita nikmati keragaman ini dan berhenti menilai seseorang hanya berdasarkan jenis kelaminnya.

[AG, Jakarta, Mei 2010]

*ilustrasi diambil dari laman milik University of Massachusset

*Tulisan ini juga tayang di Baltyra dan Kompasiana.

Balada Lapangan Hijau

Meg Cabot menulis dalam Princess Lessons, 2003 “Tidak ada yang lebih sportif daripada menjadi atlet yang baik.” Bagaimana dengan atlet Indonesia? Hmm, baik di mata dirinya sendiri, mungkin. Kau, yang merasa dirimu atlet, seharusnya memberi contoh yang baik bagi yang lain, bagi penontonmu. Ini artinya tidak menjadi pecundang lapangan yang menyebalkan.

Atlet yang baik tidak marah-marah di lapangan. Tidak menuduh pihak lain melakukan kecurangan. Tidak juga melempar sepatu saat kalah. Mereka menerima kekalahan dengan anggun, berjabat tangan dengan pemenang, dan berkata dengan tulus “Permainan yang bagus, kawan.” Para jawara sejati tidak mempermasalahkan kondisi lapangan atau keputusan wasit yang melayangkan kartu warna-warni.

Saat seorang pemenang sejati menang, dia tidak pernah menyombongkan diri, menari-nari telanjang saat mencetak gol, atau menyanyikan lagu-lagu makian tentang pihak yang kalah. Pemenang yang baik selalu menghargai usaha lawannya dan ingat bahwa dirinya bisa dengan mudah berada di posisi yang kalah -kapan pun.


(Bukan) Penonton yang Baik

Tak ada yang lebih menyebalkan daripada membayar sepuluh ribu rupiah dan duduk dalam stadion hanya untuk menemukan orang-orang yang duduk di tribun seberangmu mengamuk-amuk. Berteriak menyalak, menendangi kursi-kursi, atau membakar segala atribut kebolaan. Ini bukan sikap penonton. Ini bahkan bukan sikap manusia. Ckckck!

Saat orang berkumpul dalam stadion untuk menikmati pertandingan, mereka biasanya sudah membayar tiket masuk -kecuali tetangganya sedang bertugas sekuriti disana. So, it’s not cool at all saat ada orang yang berusaha merusak pertandingan dengan berlari sambil salto menerobos pagar pembatas bagai jagoan dalam film kung fu lalu mereka adu jotos sambil teriak tujuh oktaf –well, ini bisa jadi adegan menghibur di ruang sidang, tapi tidak setiap saat harus begitu wahai bapak-bapak anggota dewan.

Miris sekali melihat pertandingan sepak bola menelan korban, entah luka ringan, luka agak berat, luka amat berat sekali, atau yang paling parah: meninggal dunia! Kalian tak tahu siapa yang jadi korban-korban itu? Mereka saudaramu, Bung! Dengan selembar kertas ungu bernominal sepuluh ribu rupiah kau bisa jadi malaikat pencabut nyawa dadakan, ooh murahnya! Kalian tak harus melakukan atraksi setelah pertandingan. Berharap saja tim kesayanganmu bisa menang di lain waktu lalu pulanglah dengan tenteram. Kita semua harus hidup di planet ini, tak peduli pemain idolamu mencetak gol atau tidak.

Satu nasihat untuk kau yang gemar menonton pertandingan langsung: bawalah kotak P3K! Supaya nanti saat hidungmu tak lagi mengeluarkan upil tapi darah, atau lenganmu terkoyak, atau betismu tersangkut bebesian, kau bisa jadi superhero untuk dirimu sendiri dengan senjata andalan yang siap di tangan -obat merah!


Belajarlah pada Pemandu Sorak

Untuk pemain, pelatih, dan penonton, pergilah ke rental DVD, cari film Bring It On, tonton! Kalian akan melihat bagaimana sekelompok pemandu sorak yang dipimpin si cantik rambut merah Kirsten Dunst mempelajari bahwa menang bukan segalanya: kadang melakukan hal benar lebih penting daripada mengangkat tropi kemenangan.

Andi Gunawan, Ibukota, 08 Maret 2010

*Penulis tidak pernah mencetak gol, seorang mahasiswa tumpul dan pemerhati karakter. Ahai!

*Ilustrasi diunduh dari sini.

Separatisme Kekinian

Perbedaan yang seharusnya menjadi motivasi peningkatan integritas bangsa beralih fungsi seiring dengan maraknya medornitas pemikiran yang dipengaruhi oleh rasa ingin bersaing. Persaingan antarkelompok itu mulai memberangus rasa kebersatuan.

Fenomena seperti ini terlihat jelas di banyak institusi pendidikan tinggi. Perbedaan cara pandang prematur mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok mahasiswa yang mulai memisahkan diri dari mayoritas. Sebuah bentuk separatisme yang dilandasi ego bahwa mereka lebih baik ketimbang para mahasiswa lainnya.

Mereka mungkin tidak dengan sengaja memisahkan diri dari mayoritas. Tetapi, dengan alih-alih bahwa ideologi prematur mereka tidak sejalan dengan kebanyakan, mereka mulai membuat jarak. Beberapa menganggap ini masalah sepele, hanya sekedar soal memilih teman nongkrong. Padahal ini adalah bentuk awal dari perpecahan integritas dalam sebuah institusi pendidikan.

Anggap saja ini sebagai fenomena sosial yang tak terhindarkan, tapi toh tetap dapat diminimalisir. Mungkin banyak yang lupa bahwa selalu ada hal penting di balik sesuatu yang dianggap sepele. Ada banyak hal luar biasa yang dimiliki oleh para mahasiswa yang dianggap remeh oleh mahasiswa lainnya yang merasa lebih superior. Sayangnya, keengganan mencari tahu sudah mengakar lebih dalam. Kalau sudah begini, siapa yang salah dan siapa yang benar? Mari kita telaah soal pengelompokan mahasiswa ini dengan pembagian sebaga berikut; Akademisi, Organisator, dan Anak Gaul.

Bhineka Tunggal Ika

Kelompok Akademisi yang dimaksud adalah mereka yang beorientasi pada nilai. Ada yang menyebut mereka sebagai mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang). Tujuan mereka ke kampus hanya untuk belajar demi mendapatkan nilai yang memuaskan. Satu hal yang mereka lupa; kampus bukanlah sekedar tempat belajar, tetapi juga tempat interaksi sosial.

Kelompok kedua, Organisator, adalah mereka yang bergelut dalam kelembagaan kampus. Oke, sebut saja mereka mahasiswa kura-kura (kuliah-rapat, kuliah-rapat). Beberapa dari mereka sudah mempunyai pengalaman organisasi sebelumnya. Beberapa lainnya, seperti kesetanan, mengikuti hampir semua organisasi yang mungkin mereka ikuti sebagai bentuk pertunjukan eksistensi. Bersosialisasi dengan banyak orang mungkin adalah salah satu cara pencapaian aktualisasi diri, tapi bukan berarti mengesampingkan tugas utama seorang mahasiswa; belajar. Sesungguhnya, organisator yang baik adalah yang memiliki kontrol diri dan manajemen waktu yang baik. Menjadi organisator seharusnya bukan alasan untuk menunda kelulusan setahun atau dua tahun lebih lama.

Kelompok ketiga disebut Anak Gaul. Mereka adalah para mahasiswa yang tidak terlalu berorientasi pada setinggi apa nilai yang mereka dapatkan dalam setiap mata kuliah. Mereka juga tidak gila organisasi. Kelompok ini disebut gaul dengan ditandai bagaimana cara mereka berpenampilan. Mereka selalu mengikuti arus tren penampilan dan hiburan. Dua kelompok yang disebut di awal menganggap kelompok ini sebagai kaum hedonis. Menurut saya, tahu wawasan kekinian dan tahu bagaimana menyikapinya bukan melulu hedonis. Kecuali jika mereka menjadikan kekinian tersebut sebagai orientasi utama dalam segala hal.

Ketiga kelompok itu sudah dipastikan saling menganggap remeh satu sama lain. Menganggap kelompoknya selalu lebih baik ketimbang kelompok lain. Kelompok akademisi menganggap kelompok organisator membuang terlalu banyak waktu di luar kelas dan itu bukan hal yang seharusnya dilakukan mahasiswa. Kelompok organisator menyikapi kelompok anak gaul sebagai orang-orang yang tidak bisa apa-apa selain berpenampilan menarik. Sementara, penampilan bukanlah segalanya. Kelompok anak gaul berpendapat bahwa kelompok akademisi adalah sekumpulan orang aneh yang anti-sosial dan ingin sekali mengingatkan mereka bahwa manusia itu makhluk sosial, tetapi mereka terlalu gengsi untuk berinteraksi dengan orang-orang di luar lingkarannya.

Pengelompokan ini bukanlah hal yang baik untuk dipertahankan. Para mahasiswa cukup dewasa berpikir bahwa integritas adalah pilar yang seharusnya tidak bercabang. Bagaimana caranya? Mereka bisa belajar menghargai perbedaan untuk mencapai rasa kebersatuan yang utuh di bawah nama institusi pendidikan mereka. Mereka juga bisa beradaptasi dengan lebih baik lagi. Tidak ada salahnya menjadi seorang orginastor yang baik asal tidak melipakan perihal akademis dan tetap bisa mengikuti pergaulan. Ini akan menjadi kombinasi yang baik bukan?

—————————————————

Jakarta, 27 Maret 2010