Archive for the ‘ Sebelum Tidur ’ Category

Ingin yang Angin

Aku ingin menjadi matahari. Menjadi yang pertama menyapamu dengan kehangatan setiap pagi. Hangat yang tak bisa kauhindari. Aku ingin menjadi air. Menjadi pembasuh setiap peluh lelahmu yang merindukan tenang petang. Rindu yang tak melulu dapat kupetik. Aku ingin menjadi angin. Menjadi pemeluk setia tanpa takut tatapan dingin ibu yang pemarah setiap malam. Marah yang tak mampu kita cegah.

Aku ingin menjadi apa saja—yang selalu kaupikirkan saat tak sedang memikirkanku.

Angin

Keluar Rumah

walk

Sejak Maret 2014, saya keluar rumah. Usia saya 26 tahun. Saya tahu saya terlambat. Sudah sejak awal usia 20an saya ingin tinggal sendiri. Bukan karena merasa sudah cukup dididik oleh orangtua, tapi saya merasa perlu mendidik diri sendiri. Perlu menemukan diri sendiri.

Proses saya keluar rumah agak alot. Ibu terus mempertanyakan alasan mengapa saya ingin tinggal sendiri. Saya terus mengutarakan kebohongan. Barangkali saya egois. Barangkali orangtua saya egois. Barang tentu adalah kami takut saling kehilangan.

Tinggal terpisah dari orangtua bukan perkara mudah. Sungguh. Banyak hal yang berubah. Saya dan orangtua, utamanya Ibu, jadi lebih sering banyak bicara meski melalui telepon. Saya jadi lebih sering sakit perut karena terlambat makan dan makan sembarang. Ibu jadi lebih sering panik saat saya tak mengangkat telepon darinya.

Suatu hari, ketukan pintu apartemen membangunkan saya dari tidur siang yang panjang. Saya baru bisa tidur subuh karena banyak pekerjaan dan daya ponsel yang mati sejak malam sebelumnya lupa saya isi ulang. Tentu saja Ibu panik bukan kepalang. Mengira putranya semaput di kamar sendirian atau tertimpa kecelakaan yang tak dapat ia bayangkan. Saya bangun, membuka pintu, lalu diserbu pelukan. Ibu. Ia memaksa sekuriti apartemen mengantarnya ke unit saya dengan sungai yang hampir meluap di matanya. Saya merasa konyol seketika. Sekaligus merasa begitu dicintai.

Selain mengubah banyak hal, jarak juga menguak banyak hal. Saya jadi tahu ternyata Bapak seorang pencemburu karena saya lebih sering menelepon Ibu. Saya jadi tahu bagaimana rasanya memupuk gengsi untuk tidak bilang saat sedang tak punya uang. Saya jadi tahu rasanya berutang dan paniknya ditagih saat tabungan belum cukup untuk melunasinya. Saya juga jadi tahu ternyata norak, lugu, dan manja juga dimiliki oleh Ibu.

“Mas, kalau Ibu ke Monas lihat Jokowi, boleh ndak?”

“Maaf, Mas. Uangnya habis nih. Soalnya Ibu beli sempak agak banyak di pasar. Sempak Ibu kendor semua. Kamu tahu sendiri si Bapak ndak pernah beliin Ibu begituan.”

“Kamu ndak kangen Ibu, Mas?”

Tentu saja saya kangen. Saya kangen masakan Ibu yang kadang terlalu banyak garam tapi selalu saya habiskan. Saya kangen obrolan sore hari di teras bersama Ibu dengan rokok masing-masing. Saya kangen omelan Ibu yang gemas karena saya selalu bangun lebih siang dari waktu yang saya minta ke Ibu untuk membangunkan.

Saya kangen Ibu yang kadang membuat saya merasa ingin pulang justru saat sedang berada di rumah. Saya kangen Ibu yang selalu membuka pintu selarut apapun saya mengetuknya. Saya kangen Ibu yang setia pada setiap doa baiknya untuk saya. Saya kangen Ibu yang selalu menganggap saya ini istimewa padahal tidak. Saya kangen Ibu yang tidak tahu alasan sebenarnya mengapa saya keluar rumah.

Saya ingin pulang.

Melamun

Apakah kau tak ingin menatapku seperti tatapan pertama kita yang canggung namun lekat?

Apakah kau tak ingin menciumku seperti ciuman pertama kita yang pemalu namun khidmat?

Apakah kau tak ingin memelukku seperti pelukan pertama kita yang gugup namun kuat?

Apakah kau tak ingin merindukanku seperti rindu pertama kita yang ganjil namun tepat?

Apakah kau tak ingin menanyakan pertanyaan yang sama kepadaku?

Yogyakarta, 2014

Yang Selalu Mampir Pukul Satu Pagi

Sepasang mata dan bibir terkatup dalam lelap tidurmu ialah puisi yang selalu kubaca sebanyak keraguanmu akan kata-kataku yang terlanjur tumpah tentang usaha menjadi baik-baik saja.

Sementara hangat yang diam-diam kuhantarkan lewat peluk yang kucuri dari punggungmu selalu melahirkan pertanyaan yang sama; mengapa kita tak pernah lagi sama?

Kemudian pagi selalu menjadi perkara yang tak dapat ditunda, yang menerbitkan matahari di keningmu–penerang jalan menuju pulangmu yang tak sanggup kucegah sebab aku tak pernah terlahir sebagai rumah.

Terima kasih sudah mampir.

(2014)

Yang Ibnu Habiby Tanyakan kepada Saya

Saya sedang sangat santai saat seorang kawan, Ibnu Habiby, menyapa saya secara tidak biasa melalui akun twitternya (@ibnuhabibi): “Wawancara, yuk. Emailmu apa?” Pertama, seingat saya dia bukan wartawan. Kedua, seharusnya dia tahu alamat email saya karena dia pernah mengirimkan cerita pendeknya melalui email untuk saya baca. Ketiga, saya penasaran pertanyaan apa yang akan diajukannya. Beginilah jadinya.

Ibnu Habiby:

Berikut di bawah ini terbersit pertanyaan spontan yang kubuat, tugasmu hanya menjawab. Tidak sulit, bukan? Mari memulai.

  • Jika saya adalah sebuah buku, maka saya pasti akan ditulis oleh? Karena dia?
  • Ketika saya berumur dua puluh, saya adalah seorang?
  • Bila saya adalah rumput paling hijau di dunia, saya akan katakan kepada orang-orang yang terus bertanya kepada saya untuk?
  • Saya memiliki beberapa hal yang akan saya sentuh saat saya marah, mereka adalah?
  • Selain tidak menganggap keberadaan orang lain, saya juga baik dalam bidang?
  • Sangatlah mudah untuk menggambarkan Ibnu Habibi kedalam tiga kata, dia adalah?
  • Tanpa twitter dan 14K followers saya, saya melihat diri saya sedang?

Berikut adalah pertanyaan-pertanyaannya yang telah saya jawab.
Continue reading

Lalu Hujan Deras Sekali

 

 

Dinihari ialah seni mengingat; ciuman yang ingin mengulangi dirinya di hadapan bibir-bibir para pencibir.

Sore itu, kau adalah berita dalam televisi yang mudah diduga bagaimana akhirnya, sementara aku penonton setia sebab kadang-kadang terlalu banyak pilihan sama dengan tak ada pilihan lain. Secara seksama, kudengar-lihat bagaimana kau memberitakan kronologi peristiwa yang kau tolak sebagai repetisi dan peranku bertambah satu di sini—penonton yang seolah bodoh dan harus tercengang menyaksikan siaran kabar tentang kejadian tipikal.

Kau selalu memulai dengan cara yang itu-itu lagi. Pertama, kau akan menyampaikan prolog membosankan tentang bagaimana kau bertemu mantan kekasihmu. Kedua, dengan sangat berbinar, kau ungkit segala baik dan mengabaikan keburukan yang lebih banyak kau telan darinya. Ketiga, seperti biasa kau akan menutupnya dengan pertanyaan, “Mengapa ia tega meninggalkan aku?”

Kemudian, bagian yang telah kuhafal, kau akan menatap langit ruangan dengan matamu yang berperan sebagai sepasang mata paling terluka di dunia. Yang pecah berikutnya; tangismu disusul pertanyaan-pertanyaan sialan. “Apakah aku terlalu gemuk untuknya? Apakah aku lawan bicara yang membosankan? Apakah ia telah kehilangan gairah terhadapku? Kalau iya, apa sebabnya? Mengapa ia bertingkah tak peduli atas segala kepedulianku padanya? Apakah aku tak tampak menarik? Apakah aku harus melakukan operasi plastik?”

Begitulah kau, bertahun-tahun menjadikan aku tempat bersandar saat kau merasa harus menangis sembari mempertanyakan adakah yang mau dan mampu menerima apapun adanya dirimu. Beginilah aku, bertahun-tahun mengusap airmatamu yang sesungguhnya tak perlu kautumpahkan andai kau tahu bagaimana aku telah menerimamu sebaik ibu menerima kehadiran anaknya lengkap dengan segala kenakalannya.

Begitulah kau, bertahun-tahun tak juga membuatmu merasa cukup. Bahwa sempurna bukanlah hal yang dapat kau kecup. Bahwa saat kau terluka, hatikulah yang satu-satunya kuncup. Beginilah aku, bertahun-tahun tak pernah kau baca. Mungkin sebab halaman terakhirku telah melipat dirinya sendiri setelah ciuman pertama kita. Ciuman yang pertanda, bahwa segalanya mengenal sudah – dengan atau tanpa akhir bahagia.

Setelah airmatamu kering, seperti biasa kau mengantarku pulang dan tak pernah sampai ke rumah. Di tepi jalan malam itu, kau melepas helm untuk mengakhiri hari dengan ucapan terima kasih yang lesu, sementara aku sibuk memilih antara membalasnya dengan sampai jumpa atau hati-hati saja. Aku tak memilih keduanya. Aku memilih menciummu dan sesaat melupakan bahwa kita adalah laki-laki. Lalu hujan deras sekali. Lalu dinihari terasa lama sekali.

 

Depok, 2013

Tumbuh

Rian namanya, atau Ryan, saya tidak tahu persis. Yang saya tahu persis, dia terus tumbuh dan berkembang dan berubah. Dia bersama saya sejak kata pertama yang mampu dia ucapkan, sejak langkah pertama yang mampu dia jejakkan. Dia tetap bersama saya setelah yang dipanggilnya Ayah memilih hidup kembali bujang, seolah tak pernah membuahi selaput dara ibunya yang kemudian melahirkannya, lalu keempat adiknya. Dia tetap bersama saya setelah kehilangan kontak fisik, suara, dan mungkin batin, dengan indungnya.

15139_1258748518561_4768950_n

Ini potret saat dia berusia empat (kalau saya tak salah ingat). Sekarang dia mungkin lebih dari delapan tahun. Saya tak tahu persis. Saya bukan pengingat tanggal lahir yang baik. Yang saya tahu persis, dia kelas dua sekolah dasar sekarang. Mestinya kelas tiga tapi tidak naik kelas di tahun pertamanya. Ibu saya buta huruf dan saya terlalu sibuk bekerja saat itu. Tak ada yang membantunya belajar, saya menyesal. Sangat menyesal.

Dialah salah satu alasan saya bertahan hidup, agar bisa mempertahankan hidupnya juga. Bocah ini bukan bocah biasa. Mengasuhnya tak semudah mengasuh luka yang bisa sembuh dengan sekali pergi ke dokter lalu menuruti resepnya. Saya mengasuhnya dengan ketakutan.

Saya tak pernah berani menebak apa yang dia pikirkan saat dia lebih suka bermain di luar rumah selepas sekolah dan pulang saat malam tinggi sekali; saat dia kesulitan mengerjakan tugas pelajaran Bahasa Sunda lalu menangis; saat ibu anak tetangga menghardiknya setelah dia membalas pukulan anaknya; saat ia terbengong tiap kali sedang menyantap makanan yang dihidangkan untuknya; saat dia pergi bermain menggunakan sandal dan berkali-kali pulang tanpa alas kaki; saat saya pulang dari menginap beberapa malam dan dia menyambutnya dengan pertanyaan, “Om Andi kok pergi melulu sih?”

Saat suatu kali dia berkata, “Aku mau kerja, ah. Biar nggak minta duit lagi ke Om Andi.” Saya tak berani menebak apa yang dia pikirkan. Tak pernah berani.

Depok, 2013

Anggap Saja Potret

Sudah lama tidak menerbitkan halaman baru di blog ini. Mungkin karena kata-kata juga butuh rehat, seperti halnya saya. Di tengah masa rehat, sembari menunggu kabar baik dari penerbit untuk buku saya berikutnya, saya menemukan foto-foto ini dalam salah satu folder di salah satu flash-disk saya. Dengan alasan yang sukar saya sampaikan, saya suka sekali foto-foto ini. Hitam dan putih bikin abu-abu makin kentara. 

AndiModestus1

AndiModestus2

AndiModestus3

AndiModestus4

AndiModestus5

AndiModestus6

Dijepret secara hore oleh Tegar Umbara.

Oiya, pria berkaus The Jones ini mengaku bernama Modestus.

Melankolia Dua Puluh Lima

Barangkali saya gila, atau sekadar melankolia, tapi yang pasti bukanlah kesepian penyebab saya kerap berdialog dengan diri sendiri. Saya bertanya sebanyak-banyaknya, saya menjawab sebebas-bebasnya. Sebab tak ada yang lebih bebas daripada menciptakan kebebasan dari dan untuk diri sendiri. Rumit? Ya, karena hidup tak semudah Susilo bikin empat album musik sementara banyak musisi kelojotan tampil setengah hati di acara musik pagi. Dan inilah 25 tanya-jawab di usia 25 saya.

Selamat ulang tahun, Andi! Apa yang kau maknai dari sebuah ulang tahun?
Terima kasih, Gun! Ulang tahun tak lebih dari sekadar repetisi yang semakin lama semakin rumit. Semakin tua, semakin rumit. Usia hanyalah angka yang menumpuk di atas kepala, yang sebetulnya hitungan mundur menuju awal: tiada –dan tak bisa diduga kapan ujungnya. Semoga saya bisa menikmati sisa hitungan dan diselamatkan dari usia yang terlalu panjang, terlalu rumit.

Lalu, apa yang kauinginkan di usia dua puluh lima tahun ini?
Sekarang ini saya hanya ingin tidur nyenyak tanpa takut dibangunkan tiba-tiba oleh kabar-kabar buruk. Juga ingin jajan di warung dekat rumah tanpa harus memikirkan bagaimana kalau tiba-tiba uang habis dan tak ada apa-apa yang bisa ditelan selain angin.

Bicara soal tidur, mengapa kau seringkali terjaga saat kebanyakan orang sedang tidur?
Karena saya bisa memilih jam tidur dan tak harus sampai ke kantor sebelum pukul sembilan pagi lagi. Bertemu banyak orang memang menyenangkan, tapi tidak di pagi hari yang terik di dalam metomini sesak bau besi berkarat dan ketiak-ketiak. Karena saya harus terjaga saat Ibu sedang tidur supaya siaga saat ia terbangun, memanggil nama saya, dan minta diantar ke kamar mandi.

Soal nama, lupakan Shakespeare dan beri tahu apa arti namamu, boleh?
Boleh, tapi sayang saya tak tahu. Saya cuma tahu asal-usulnya, bukan artinya. Andi diambil dari Andy Lau. Ibu gemar menonton film-filmnya dan memutuskan namanya jadi nama anaknya. Mungkin Ibu berharap saya jadi laki-laki putih bersih yang gagah, tapi faktanya saya hitam dan kemayu. Gunawan adalah nama dokter bersalin yang membantu ibu melahirkan saya. Saya sempat curiga nama depan dokter itu adalah Ivan. Ibu memberi nama saya semudah ini bukan karena tak punya uang membeli buku berisi nama-nama beserta artinya, tetapi karena ia tak bisa membaca. Begitulah.

Tapi kau bisa membaca dan gemar sekali membaca, kan? Kenapa?
Saya suka membaca karena saya bisa membaca dan karena pisau yang diasah akan lebih tajam dibanding pisau yang tergeletak di dalam lemari orang-orang kaya raya. Saya suka membaca supaya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibu yang jawabannya hanya bisa didapat dengan membaca. Saya suka membaca karena halaman-halaman buku punya aroma yang tak dimiliki tubuh siapa pun.

Mengenai tubuh, mengapa kau menyetubuhi laki-laki?
Jangan tolol! Ya jelas, karena saya homoseksual, apa lagi? Continue reading

Nyanyian Tuhan

seorang lelaki dari ibukota menemuiku di sebuah warung yang menjajakan kopi hitam paling muram dan puisi masam di atas panggung. dikenakannya topi rajut mirip paman petani –menutupi sebagian gimbal rambutnya, sebagian tebal isi kepalanya.

tak ada seorang pun terlahir menjadi petani di kota ini, bukan tak ada lahan subur tapi sebab tangan-tangan sibuk memupuk tinggi gedung dan hidung masing-masing, maka setiap orang hanya bisa menjadi buruh atau apa saja selain kehendaknya sendiri karena menjadi diri sendiri seringkali bikin peluh makin keruh.

lalu percakapan berpindah ke trotoar lebih terbuka masih dengan kopi muram semuram apa saja yang disebut benar. aku dan lelaki bertato tengkorak di kedua bahunya berbincang seperti kawan lama sedang melakukan reuni setelah jarak dan usia menjadi perihal paling malas dihitung dan melahirkan kesepakatan tentang keasingan yang lebih intim dari pertemuan tubuh-tubuh dan lebih mekar dari busung dada para saudagar.

kemudian malam tua dan memaksaku dan lelaki bertato tengkorak di kedua bahunya menamatkan pertemuan pertama yang mengguratkan epitaf dalam kepalaku bertuliskan nyanyian tuhan paling merdu; menerbitkan harapan purba tiba-tiba di dasar paling sembunyi tentang pertemuan kedua dan tato tengkorak ketiga setelah kematianku di bagian tubuhnya yang tak pernah kusentuh.

(2013)